Jumat, 06 Mei 2011

Perencanaan Pembelajaran

BAB II

KONSEP DASAR PENELITIAN TINDAKAN KELAS


A. Asal Muasal Penelitian Tindakan Kelas
Awalnya diadvokasi oleh Filosof John Dewey (1910),dan pendekatan ilmiah terdahulu tidak mampu menyelesaikan masalah, dan menjadi sebuah inkuiri sosial pada waktu itu muncul suatu kebutuhan yang lebih memfokuskan pada masalah praktek, bukan pada masalah teori di Amerika Serikat pun muncul keinginan untuk mewujudkan berkolaborasi demikian Untuk mengembngkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan pada Tahun ( 1983 ) Gideonse mengusulkan restorasi, sehingga penelitian merupakan investigasi terkendali terhadap berbagai paset pendidikan dan pembelajaran dengan cara reflektip, Kurt Lewin Juga memahami hubungna antara teori dan praktek sebagai aplikasi dari hasil penelitian.

A.1. Konsep dasar Penelitian Tindakan Kelas
Pada Tahun ( 1970 -1993 ) Sanford dan Kemmis mengemukakan bahwa konsep dasar penelitian tindakan kelas adalah tindakan sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang berdaur ulang dan bersifat reflektif mandiri, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi.
Penelitian tindakan kelas memiliki ciri khusus yaitu sifat reflektif yang berkelanjutan untuk perbaikan praktis, Berbeda dengan pendidikan formal yang lebih mengutamakan eksperimental, penelitiam tindakan kelas lebih menekankan kepada proses perenungan kembali (refleksi) terhadap proses dan hasil penelitian secara berkelanjutan untuk mendapatka penjelasan dan justifikasi tentang kemajuan, peningkatan, kemunduran, kekurangan, dan sebagainya. dari pelaksanaan sebuah tindakan untuk dapat digunakan dan untuk memperbaiki proses tindakan pada siklus-siklus selanjutnya.
BAB II

KONSEP DASAR PENELITIAN TINDAKAN KELAS


A. Asal Muasal Penelitian Tindakan Kelas
Awalnya diadvokasi oleh Filosof John Dewey (1910),dan pendekatan ilmiah terdahulu tidak mampu menyelesaikan masalah, dan menjadi sebuah inkuiri sosial pada waktu itu muncul suatu kebutuhan yang lebih memfokuskan pada masalah praktek, bukan pada masalah teori di Amerika Serikat pun muncul keinginan untuk mewujudkan berkolaborasi demikian Untuk mengembngkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan pada Tahun ( 1983 ) Gideonse mengusulkan restorasi, sehingga penelitian merupakan investigasi terkendali terhadap berbagai paset pendidikan dan pembelajaran dengan cara reflektip, Kurt Lewin Juga memahami hubungna antara teori dan praktek sebagai aplikasi dari hasil penelitian.

A.1. Konsep dasar Penelitian Tindakan Kelas
Pada Tahun ( 1970 -1993 ) Sanford dan Kemmis mengemukakan bahwa konsep dasar penelitian tindakan kelas adalah tindakan sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang berdaur ulang dan bersifat reflektif mandiri, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi.
Penelitian tindakan kelas memiliki ciri khusus yaitu sifat reflektif yang berkelanjutan untuk perbaikan praktis, Berbeda dengan pendidikan formal yang lebih mengutamakan eksperimental, penelitiam tindakan kelas lebih menekankan kepada proses perenungan kembali (refleksi) terhadap proses dan hasil penelitian secara berkelanjutan untuk mendapatka penjelasan dan justifikasi tentang kemajuan, peningkatan, kemunduran, kekurangan, dan sebagainya. dari pelaksanaan sebuah tindakan untuk dapat digunakan dan untuk memperbaiki proses tindakan pada siklus-siklus selanjutnya.



 Tujuan di Adakannya konsep dasaer penelitian tindakan kelas adalah
Memperbaiki dan meningkatkan kualitas isi, masukan, proses dan hasil pembelajaran
Menumbuhkan dan mengembangkan budaya meneliti para pendidik agar lebih proaktif mencari solusi terhadap permasalahan pembelajaran
Menumbuhkan dan Meningkatkan produktivitas meneliti para pendidik, khususnya dalam mencari solusi masalah-masalah pembelajaran
Meningkatkan kolaborasi antar pendidik dalam memecahkan masalah pembelajaran

 Manfaat Penelitian tindakan Kelas yang dapat di petik di antaranya :
Guru semakin diberdayakan untuk mengambil berbagai prakasa propesional secara mandiri,dengan kata lain prakasa untuk melakukan revolosi inovasi dalam pendidikan hanya akan berhasil jika di mulai dari ujung tombak pelaksanaan dilapangan.
Guru memiliki keberanian mencobakan hal-hal baru yang diduga dapat membawa perbaikan dalam kegiatan pembelajarannya di dalam kelas.
Guru tidak lagi puas dengan rutinitas menonton melainkan terpacu untuk selalu berbuat lebih baik dari sekarang yang telah di raihnya sehingga terbuka peluang untuk peningkatan kinerja secara berkesinambungan (continue).

A.2. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak, atau merasaklan berbagai teori pemikiran dari karakteristik tumbuh untuk menjelaskan berbagai kunci karakteristik manusia.
Inkuiri berasal dari bahasa inggris yang dapat di artikan sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang di ajukan. Pertanyaan ilmiah adalah pertanyaan yang dapat mengarahkan pada kegiatan penyelidikan terhadap objek pertanyaan. Dengan kata lain inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan eksferimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis. Inkuiri sebenarnya merupakan prosedur yang biasa dilakukan oleh ilmuwan dan orang dewasa yang memiliki motivasi tinggi dala upaya memahami fenomena alam, memperjelas dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.dan Penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan pembelajaran rill yang sehari-hari di hadapi oleh pendidik dan peserta didik (practice driven ) dan ( aktion driven ). Dan tujuan penelitian tindakan untuk memperbaiki praksis secara langsung.
Reflektif. Penelitian tindakan kelas memiliki ciri khusus, yaitu sikap reflektif yang berkelanjutan.
Kolaboratif adalah upaya perbaikan proses dan hasil pembelajaran tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru, tetapi garus dikolaborasi dengan sejawatnya dan penelitian tindakan kelas merupakan upaya bersama dari berbagai pihak untuk mewujudkan perbaikan yang di inginkan nuansa kolaborasi ini harus tertampilkan dengan keseluruhan proses mulai dari identifikasi, masalah, bersama, perencanaan, pelaksanaan penelitian tindakan kelas, observasi, evaluasi, dan refleksi, sampai dengan penyusunan laporan akhir penelitian.

A.3. Prinsif Dasar penelitian Tindakan Kelas
Hopkins (1993) Menyebutkan ada enam prinsif dasar yang melandasi penelitian tindakan kelas yaitu :
Bahwa tugas guru yang utama adalah menyelenggarakn pembelajaran yang baik dan berkualitas. Untuk itu, guru memiliki komitmen dalam mengupayakan perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran secara terus menerus.
Bahwa meneliti merupakan bagian integral dari pembelajaran, yang tidak menuntut khususan waktu maupun metode pengumpilan data. Tahapan-tahapan penelitian tindakan kelas selaras dengan pelaksanaan pembelajaran, Yaiyu :
• Persiapan (planning)
• Pelaksanaan pembelajaran (actipon)
• Observasi kegiatan pembelajaran (observasion)
• Evaluasi proses dan hasil pembelajaran(reflecition)
Prinsip kedua ini menginsyaratkan agar proses dan hasil pembelajaran direkam dan di laporkan secara sistematik dan terkendali menurut kaidah ilmiah.
Bahwa kegiatan meneliti, yang merupakan bagian integral dari pembelajaran, harus di selenggarakan dengan tetap bersandar pada alur dan kaidah ilmiah.
Bahwa masalah yang di tangani adalah masalah-masalah pembelajaran yang riil dan merisaukan tanggung jawab propesional dan komitmen terhadap memperoleh mutu pembelajaran. Prinsip ini menekankan bahwa diagnosis masalah bersandar pada kajian nyata yang berlangsung dalam konteks pembelajaran yang sesungguhnya.
Bahwa konsitensi sikap dan kepedulian dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran sangat diperlukan. Oleh karena itu, motivasi untuk memperbaiki kualitas harus tumbuh dari dalam (motivasi intristik), bukan sesuatu yang bersifat instrumental.
Permasalahan Penelitian kelas tidak seharusnya dibatasi pada masalah pembelajaran di ruang kelas, tetapi dapat di perluas pada tataran di luar ruang kelas, Misalnya : tataran sistem atau lembaga. Perspektif yang lebih luas akan memberi sumbangan lebih signifikan terhadap upaya peningkatan kualitas pendidika




BAB II
PERENCANAAN TUJUAN, MATERI, SUMBER DAN MEDIA PEMBELAJARAN
2.1 Perencanaan Tujuan
Dalam perencanaan tujuan-tujuan instruksional, yang menjadi inti komponen pertama adalah identifikasi pokok bahasan berikut tujuan umumnya. Pokok bahasan menjadi dasar pengajaran dan menggambarkan ruang lingkupnya. Untuk sekolah dasar pokok bahasan biasanya lebih sederhana. Mengenai perencanaan tujuan biasanya ditandai dengan kata-kata “memahami”, “waspada” (terhadap suatu peristiwa), dan sebagainya. Kata-kata kerja semacam itu tidak operasional dan sukar menentukan kriteria spesifiknya. Jadi maksud dan tujuannya merupakan pernyataan.
Tujuan umum tersebut sangat luas. Apabila kita batasi, mungkin tujuan tersebut merupakan pernyataan dari masyarakat, siswa, atau bidang studi. Pernyataan yang berasal dari masyarakat, misalnya yang mungkin mengandung filosofi dan etika, atau mencerminkan kebutuhan masyarakat itu sendiri, misalnya:
Pokok bahasan : masa depan
Tujuan umum : membantu siswa untuk memikirkan dunia di masa datang dan segala kemungkinan yang akan mempengaruhi kehidupan manusia.
Pernyataan yang berasal dari siswa mencerminkan tujuan pendidikansiswa itu sendiri, seperti persiapan diri untuk terampil bekerja, mampu memecahkan masalah dan sebagainya, misalnya:
Pokok bahasan : karajinan terbuat dari lembaran metal.
Tujuan umum : agar siswa bergairah membuat kerajinan tersebut dari lembaran metal.
Pernyataan yang berasal dari bidang studi adalah tujuan yang berhubungan dengan suatu bidang studi yang dinyatakan lebih spesifik seperti:
- Bersikap hati-hati dan dapat menjaga kesehatan lingkungan (pernyataan ini berhubungan dengan bidang studi sains).
- Meningkatkan berkomunikasi, baik melalui lisan maupun tulisan (berhubungan dengan bidang studi bahasa). Contoh:
Pokok bahasan : haiku (salah satu bentuk puisi Jepang)
Tujuan umum : untuk meningkatkan apresiasi terhadap sastra Jepang dan mampu menulis puisi dalam bentuk haiku.
Komponen selanjutnya dalam perencanaan pengajaran adalah tujuan belajar. Tujuan belajar harus dinyatakan dengan melakukan keaktifan / kegiatan siswa, dapat diukur apakah kelak tujuan bisa dicapai atau tidak, dapat ditulis lebih dulu atau kemudian setelah isi pelajaran disusun garis besarnya. Pada umumnya tujuan dikategorikan menjadi tiga kawan, yaitu: tujuan kognitif, afektif dan psiko motorik.
Tujuan pengajaran harus spesifik. Artinya kalau isi pokok bahasan sudah dipilih dan sudah spesifik, sudah tentu tujuan pun harus sesuai dengan pokok bahasan yang telah dipilih tersebut.

2.2 Perencanaan Bahan-Bahan Pengajaran (materi)
Kalau kita mempelajari lebih dalam mengenai materi pelajaran maka kita akan dapat melihat adanya berbagai aspek yang antara lain: konsep fakta, proses, nilai keterampilan, bahkan juga terdapat sejumlah masalah-masalah yang ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Aspek-aspek tersebut, perlu menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan bahan pelajaran dan rinciannya. Sesuatu satuan bahasan yang telah ditentukan perlu dianalisis lebih lanjut tentang konsep-konsep apa yang terkandung dalam topik tersebut, prinsip-prinsip apa yang perlu disampaikan dan seterusnya.
Materi pelajaran berada dalam ruang lingkup isi kurikulum. Karena itu, pemilihan materi pelajaran tentu saja harus sejalan dengan ukuran-ukuran (kriteria) yang digunakan untuk memilih isi kurikilum bidang studi bersangkutan. Kriteria pemilihan materi pelajaran yang akan dikembangkan dalam sistem instruksional dan yang mendasari penentuan strategi belajar mengajar:
a. Kriteria tujuan instruksional.
b. Materi pelajaran supaya terjabar.
c. Relevan dengan kebutuhan siswa.
d. Kesesuaian dengan kondisi masyarakat.
e. Materi pelajaran mengandung segi-segi etik.
f. Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang sistematis dan logis.
g. Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi guru yang ahli dan masyarakat.

2.3 Perencanaan Sumber
Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Fungsi sumber belajar adalah:
1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.
Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa. Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:
a. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
b. Sumber belajar yang dimanfaatkan(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran
Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk: (1) pesan: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya (2) orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya; (3) bahan: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya; (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya; (5) pendekatan/ metode/ teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya; dan (6) lingkungan: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.
Dalam memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.

2.5 Perencanaan Media Pengajaran
Dalam metodologi pengajaran ada dua aspek yang paling yang paling menonjol yakni metode mengajar dan medis pendidikan sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalah alat untuk mengukur atau menentukan tarap tercapai tidaknya tujuan pengajaran. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan media pendidikan sebagai alat bantu mengajar ada dalam komponen metodologi, sebagai salah satu lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
Ada beberapa jenis media pendidikan yang biasa digunakan dalam proses pengajaran:
1) Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram. Media grafis sering juga disebut media dua dimensi, yakni media yang mempunyai ukuran panjang dan lebar.
2) Media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), diorama dan lain-lain.
3) Media proyeksi seperti slide, film dan lain sebagainya.
4) Penggunaan lingkungan sebagai media pendidikan.
Para ahli telah sepakat bahwa media pendidikan dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasi belajar yang dicapainya. Ada dua alasan, mengapa media pendidikan dapat berkenaan dengan manfaat media pendidikan dalam proses belajar siswa, antara lain:
o Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
o Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran.
o Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.
o Pengajaran akan lebih menarik.
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam usaha memilih media pengajaran, yakni:
a. Dengan cara memilih media yang tersedia di pasaran yang dapat dibeli guru dan langsung dapat digunakan dalam proses mengajar. Pendekatan ini sudah tentu membutuhkan biaya, lagi pula belum tentu cocok untuk penyampaian bahan pelajaran dan dengan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa.
b. Memilih berdasarkan kebutuhan nyata yang telah direncanakan, khususnya yang berkenaan dengan tujuan yang telah dirumuskan secara khusus dan bahan pelajaran yang hendak disampaikan.

BAB II
PROGRAM PENGAJARAN

A. PENGERTIAN PROGRAM PENGAJARAN
Program Pengajaran itu sendiri berarti suatu rencana, rancangan, atau kerangka pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa dalam situasi interaksi belajar mengajar di kelas. Bentuk program pengajaran ini meliputi bentuk satuan pelajaran untuk masing-masing pokok bahasan dan program semester untuk sejumlah pokok bahasan dalam tiap semester, yang dikembangkan dari silabus atau GBPP suatu bidang studi. Hal tersebut secara hierarki dapat digambarkan sebagai berikut:
GBPP→PROGRAM SEMESTER→SATUAN PELAJARAN→PBM
Dari program semester ini barulah kita membuat satuan pelajaran sebagai persiapan kita di dalam menyajikan suatu materi atau pokok bahasan.

B. FUNGSI PROGRAM PENGAJARAN
Sekurang-kurangnya terdapat dua fungsi program pengajaran sebagai berikut:
1. Fungsi perencanaan
Fungsi perencanaan dimaksudkan agar Program Pengajaran hendaknya dapat menjadikan guru lebih siap dalam mengajar dengan perencanaan yang matang. Guru setiap akan mengajar harus mengadakan persiapan terlebih dahulu, baik persiapantertulis maupun persiapan tak tertulis.
Komponen-komponen yang harus dipersiapkan diantaranya adalah:
a. Tujuan
b. Bahan pelajaran
c. Kegiatan belajar mengajar
d. Metode, media, dan sumber
e. Evaluasi
Mengenai kelima komponen ini seorang guru dituntut untuk dapat mempersiapkan atau membuat perencanaan pengajaran dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa serta perkembangan intelektual dan emosionalnya.
2. Fungsi pelaksanaan proses belajar mengajar
Program pengajaran disusun secara sistematis dengan beberapa kemungkinan penyesuaiannya pada situasi belajar mengajar yang sebenarnya, sehingga Program Pengajaran dapat berfungsi untuk mengefektifkan pelaksanaan proses belajar mengajar sesuai dengan rencana. Materi pelajaran yang disajikan sesuai dengan tuntutan agar tetap memenuhi kebutuhan sisw, kematangan siswa, mengandung nilai fungsional, praktis, serta disesuaikan dengan lingkungan siswa. Kegiatan belajar mengajar akan terorganisasi dan mempunyai tahapan kegiatan tertentu dengan metode yang tepat. Penggunaan media pengajaran akan senantiasa memperhatikan faktor efisiensi dan faktor keefektifan.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan selama kegiatan beljar siswa berlangsung, yakni masalah minat dan perhatian siswa terhadap materi pelajaran yang disajikan. Di sini guru dituntut tidak saja sebagai transformator, tetapi juga di fungsikan sebagai motivator, yang dapat menggerakan minat siswa untuk belajar dengan menggunakan berbagai media dengan sumber yang sesuai dan menunjang terhadap pencapaian suatu tujuan.

C. PROSEDUR PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL (PPSI)
Dewasa ini sekolah-sekolah kita umumnya telah melaksanakan prosedur pengembangan sistem instruksional, kendatipun masih terdapat keragaman pengertian dan fungsi serta cara penerapannya dalam bentuk model satuan pelajaran di kelas. PPSI yang berpangkal pada pandangan bahwa pengajaran adalah suatu sistem dan untuk itu diperlukan program-program pengajaran, pada gilirannya menuntut kemampuan setiap guru untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai pengajaran secara sistem. Oleh karena itu, setiap calon guru memang perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya tentang prosedur yang tepat dan benar cara memprogram pengajaran berdasarkan strategi (pendekatan) PPSI.
1. Pengertian PPSI
PPSI yang merupakan salah satu pola dasar mengajar yang diberlakukan secara nasional oleh pemerintah Republik Indonesia, masih merupakan system baru dalam konteks pengajaran di sekolah-sekolah kita. Masih banyak di antara guru dan para pelaksana pendidikan lainnya yang belum memahami dengan baik tentang apa itu PPSI, bagaimana melaksanakannya, dan apa manfa’atnya dalam pengajaran. PPSI itu sendiri adalah sistem instruksional yang menunjukan pada pengertian pengajaran sebagai suatu sistem, yaitu suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Jadi PPSI merupakan proses pengembangan program pengajaran menurut pendekatan sistem. Oleh karena itu, dalam mengembangkan suatu kegiatan belajar mengajar, guru tidak hanya memperhatikan komponen materi, metode, dan evaluasi saja tanpa memperhatikan proses belajar mengajar sebagai suatu keseluruhan dan sebagai suatu sistem. Tetapi dalam proses belajar mengajar, para guru dihadapkan pada sejumlah persoalan, diantaranya adalah:
a) Tujuan-tujuan apa yang aklan di capai?
b) Materi pelajaran apa yang perlu diberikan?
c) Metode, alat, dan sumber apa yang akan dicapai digunakan?
d) Prosedur apa yang akan ditempuh dalam mengevaluasi kemajuan belajar siswa?
Dengan sistem instruksional, evaluasi merupkan salah satu komponen yang berfungsi untuk menilai sampai berapa jauh program mencapai tujuanyang telah ditetapkan. Dengan kata lain, evaluasi memberikan gambaran keberhasilan program dan keberhasilan belajar siswa yang dapat digunakan sebagai umpan balik bagi program belajar mengajar sebagai suatu sistem dan memberikan balikan bagi kurikulum sekolah.
2. Fungsi PPSI
Prosedur pengembangan sistem instuksional berfungsi untuk mengefektifkan perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran secara sistem, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
3. Strategi (pendekatan) yang digunakan dalam PPSI
PPSI menggunakan pendekatan sistem secara integratif dan goal oriented. Suatu sistem tentu saja menggambarkan keadaan di mana pengajaran merupakan suatu kebulatan yang meliputi bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling berhubungan. Komponen-komponen yang dimaksud adalah system instruksional yang minimal terdiri atas tujuan, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, media dan sumber, serta evaluasi. Sinkronisasi dan harmonisasi antara setiap komponen secara keseluruhan dalam usaha mencapai tujuan secara efektif itulah yang menjadi inti pendekatan PPSI.

PENDEKATAN-PENDEKATAN PEMBELAJARAN

A. PENGERTIAN
Pendekatan berbeda dengan metode dalam proses pembelajaran. Pendekatan (approach) lebih menekankan pada strategi dalam perencanaan, sedangkan metode (method) lebih menekankan pada teknik pelaksanaannya (Rustaman, dkk : 2003). Pendekatan bersifat aksiomatis yang menyatakan pendirian, filosofis dan keyakinan yang berkaitan dengan asumsi. Sedangkan metode lebih bersifat procedural atau proses yang teratu. Metode dapat juga dikatakan sebagai jabaran dari pendekatan (Nurgiyanto, 1985; Susilo, 1997).

B. BEBERAPA PENDEKATAN PEMBELAJARAN
1. Pendekatan Konsep
Pendekatan konsep adalah pendekatan yang mengarahkan peserta didik meguasai konsep secara benar dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan konsep (miskonsepsi). Konsep adalah klasifikasi perangsang yang memiliki ciri-ciri tertentu yang sama. Konsep merupakan struktur mental yang diperoleh dari pengamatan dan pengalaman.
Ciri-ciri suatu konsep adalah:
a. Konsep memiliki gejala-gejala tertentu
b. Konsep diperoleh melalui pengamatan dan pengalaman langsung
c. Konsep berbeda dalam isi dan luasnya
d. Konsep yang diperoleh berguna untuk menafsirkan pengalaman-pengalarnan
e. Konsep yang benar membentuk pengertian
f. Setiap konsep berbeda dengan melihat ‘ciri-ciri tertentu
Kondisi-kondisi yang dipertimbangkan dalam kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan konsep adalah:
a. Menanti kesiapan belajar, kematangan berpikir sesuai denaan unsur lingkungan.
b. Mengetengahkan konsep dasar dengan persepsi yang benar yang mudah dimengerti.
c. Memperkenalkan konsep yang spesifik dari pengalaman yang spesifik pula sampai konsep yang komplek.
d. Penjelasan perlahan-lahan dari yang konkret sampai ke yang abstrak.
Langkah-langkah mengajar dengan pendekatan konsep melalui 3 tahap yaitu,
a. Tahap enaktik
Tahap enaktik dimulai dari:
- Pengenalan benda konkret.
- Menghubungkan dengan pengalaman lama atau berupa pengalaman baru.
- Pengamatan, penafsiran tentang benda baru
b. Tahap simbolik
Tahap simbolik siperkenalkan dengan:
- Simbol, lambang, kode, seperti angka, huruf. kode, seperti (?=,/) dll.
- Membandingkan antara contoh dan non-contoh untuk menangkap apakah siswa cukup mengerti akan ciri-cirinya.
- Memberi nama, dan istilah serta defenisi.
c. Tahap ikonik
Tahap ini adalah tahap penguasaan konsep secara abstrak, seperti:
- Menyebut nama, istilah, defmisi, apakah siswa sudah mampu mengatakannya

2. Pendekatan Proses
Pendekatan proses adalah pendekatan yang berorientasi pada proses bukan hasil. Pada pendekatan ini peserta didik diharapkan benar-benar menguasai proses. Pendekatan ini penting untuk melatih daya pikir atau mengembangkan kemampuan berpikir dan melatih psikomotor peserta didik. Dalam pendekatan proses peserta didik juga harus dapat mengilustrasikan atau memodelkan dan bahkan melakukan percobaan. Evaluasi pembelajaran yang dinilai adalah proses yang mencakup kebenaran cara kerja, ketelitian, keakuratan, keuletan dalam bekerrja dan sebagainya.

3. Pendekatan Terpadu
Integrated atau terpadu bisa mengacu pada integrated curricula (kurikulum terpadu) atau integrated approach (pendekatan terpadu) atau integrated learning (pembelajaran). Pada pelaksanaannya istilah kurikulum terpadu atau pembelajaran terpadu atau pendekatan terpadu dapat dipertukarkan, seperti dikatakan oleh pakar pendidikan dan guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof. Dr. Sri Anitah Wiryawan, M.Pd.(Pikiran Rakyat, 11 April 2003) “kurikulum terpadu adalah suatu pendekatan untuk mengorganisasikan kurikulum dengan cara menghapus garis batas mata pelajaran yang terpisah-pisah, sedangkan pembelajaran terpadu merupakan metode pengorganisasian pembelajaran yang menggunakan beberapa bidang mata pelajaran yang sesuai. Istilah kurikulum terpadu dengan pembelajaran terpadu dalam penggunaannya dapat saling dipertukarkan.

Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu adalah pemilihan/ pengembangan topik atau tema. Dalam langkah awal ini guru mengajak anak didiknya untuk bersama-sama memilih dan mengembangkan topik atau tema tersebut. Dengan demikian anak didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan.
Pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu:
- berpusat pada anak (student centered),
- proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung,
- pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas.
- menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu proses pembelajaran.
Pembelajaran terpadu memiliki kelebihan (Depdikbud, 1996) sebagai berikut:
1. Pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat perkembangannya.
2. Kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
3. Kegiatan belajar bermakna bagi anak, sehingga hasilnya dapat bertahan lama.
4. Keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
5. Kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai dengan lingkungan anak.
6. Keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu. Keterampilan sosial ini antara lain adalah : kerja sama, komunikasi, dan mau mendengarkan pendapat orang lain.

Salah satu keterbatasan yang menonjol dari pembelajaran terpadu adalah pada faktor evaluasi. Pembelajaran terpadu menuntut diadakannya evaluasi tidak hanya pada produk, tetapi juga pada proses. Evaluasi pembelajaran terpadu tidak hanya berorientasi pada dampak instruksional dari proses pembelajaran, tetapi juga pada proses dampak pengiring dari proses pembelajaran tersebut. Dengan demikian pembelajaran terpadu menuntut adanya teknik evaluasi yang banyak ragamnya.

4. Pendekatan CBSA
Konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL). Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehmgga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Ada beberapa pendekatan atau metode yang berorientasi pada pendekatan CBSA, diantaranya adalah pendekatan problem solving dan penkatan inkuiri.

5. Pendekatan Science, Technology and Society (STS)
Pendekatan Science, Technology and Society (STS) atau pendekatan Sains, Teknologi dan Masyarakat (STM) merupakan gabungan antara pendekatan konsep, keterampilan proses,CBSA, Inkuiri dan diskoveri serta pendekatan lingkungan. (Susilo, 1999). Istilah Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam bahasa Inggris disebut Sains Technology Society (STS), Science Technology Society and Environtment (STSE) atau Sains Teknologi Lingkungan dan Masyarakat. Meskipun istilahnya banyak namun sebenarnya intinya sama yaitu Environtment, yang dalam berbagai kegiatan perlu ditonjolkan. Sains Teknologi Masyarakat (STM) merupakan pendekatan terpadu antara sains, teknologi, dan isu yang ada di masyarakat. Adapun tujuan dari pendekatan STM ini adalah menghasilkan peserta didik yang cukup memiliki bekal pengetahuan, sehingga mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat serta mengambil tindakan sehubungan dengan keputusan yang telah diambilnya.
Filosofi yang mendasari pendekatan STM adalah pendekatan konstruktivisme, yaitu peserta didik menyusun sendiri konsep-konsep di dalam struktur kognitifnya berdasarkan apa yang telah mereka ketahui.

Menurut Yager, secara umum pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah-masalah setempat yang memiliki kepentingan dan dampak.
2. Penggunaan sumber daya setempat (manusia, benda, lingkungan) untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari.
4. Penekanan pada ketrampilan proses.
5. Kesempatan bagi siswa untuk berperan sebagai warga negara dimana ia mencoba untuk memecahkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi.
6. Identifikasi bagaimana sains dan teknologi berdampak pada masyarakat di masa depan.
7. Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dilandasi oleh dua hal penting, yaitu: (1) adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi, dan masyarakat yang dalam pembelajarannya menganut pandangan konstruktivisme, yang menekankan bahwa si pembelajar membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan; (2) dalam pembelajaran terkandung lima ranah, yaitu pengetahuan, sikap, proses, kreativitas, dan aplikasi.
Ada 6 ranah yang dikembangkan dalam pendekatan STM, yakni (1) konsep, (2) proses, (3) kreativitas, (4) sikap dan nilai, (5) penerapan, dan (6) keterkaitan.

6. Pendekatan Konstrukstivitik
Unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh sibelajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Sebagian penulis menyebut konstruktivistik sebagai filosofi (suparno, 1997), landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL (Nurhadi, 2002:). Sebagian penulis lainnya mengemukakan konstruktivistime merupakan suatu pandangan (perpective) belajar mengajar, dimana peserta didik membangun pengetahuan dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Ada pula yang menyatakan bahwa konstruktivistime sebagai pendekatan. Nur (2001) mengemukakan bahwa problem based learning sejalan dengan pengajaran top down yang lebih ditakankan pada pendekatan konstruktivistime.
Hal terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.)
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview.
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
4. Pendekatan Induktif
Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena. Dalam konteks pembelajaran pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif, (2) menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu, (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu, dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu.
5. Pendekatan Ekspositori
Pendekatan ini berdasarkan pada pandangan bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru. Hakekat mengajar menurut pendekatan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang menerima apa yang diberikan oleh guru. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istilah kuliah atau ceramah. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkapkan kembali apa yang dimilikinya melalui respon yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru.
Secara garis besar prosedurnya ialah: (1) persiapan, yaitu guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi, (2) pertautan (aperception) bahan terdahulu, yaitu guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah diajarkan, (3) penyajian terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah dipersiapkan diambil dari buku, teks tertentu yang ditulis oleh guru, dan (4) evaluasi, yaitu guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari secara liasan atau tulisan.
Pendekatan ekspositori digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap, dan sistematis dengan penyampaian secara verbal. Dengan demikian pendekatan ekspositori ini merupakan proses belajar yang berorientasi pada prinsip belajar tuntas (mastery learning).
6. Pendekatan Heuristik
Kata heuristik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “heuriskein” yang berarti “saya menemukan”. Metode heuristik ini dipromosikan oleh Amstrong abad ke 19, menurut metode ini peserta didik sendiri yang harus menemukan fakta ilmu pengetahuan. Pendekatan heuristik adalah pendekatan pengajaran yang yang menyajikan sejumlah data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan dan metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitan antara materi-materi tersebut.
Prinsip pendekatan heuristik adalah: (1) aktivitas siswa menjadi fokus perhatian utama dalam belajar, (2) berpikir logis adalah cara yang paling utama dalam menemukan sesuatu, (3) proses mengetahui dari sesuatu yang sudah diketahui menuju kepada yang belum diketahui adalah jalan pelajaran yang paling rasional dalam pelajaran di sekolah, (4) pengalaman yang penuh tujuan adalah tonggak dari usaha pembelajaran siswa ke arah belajar berbuat, bekerja, dan berusaha, dan (5) perkembangan mental seseorang berlangsung selama ia berpikir dan belajar mandiri. Dengan prinsip ini menunjukkan bahwa pendekatan heuristik dapat mendorong siswa bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri.
Pendekatan heuristik ini mempunyai kelemahan antara lain adalah : (1) tidak semua siswa cocok dengan pendekatan ini, kadang-kadang siswa lebih senang diberi pelajaran oleh gurunya melalui ceramah dan tanya jawab, (2) guru kurang biasa menggunakan pendekatan ini di dalam pembelajaran disekolah karena faktor kemampuan, (3) pendekatan ini kurang cocok bagi siswa yang lamban, dan (4) pendekatan ini menuntut perlengkapan yang memadai, terutama bagi pekerjaan di laboratorium.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas, maka prosedur heuristik untuk menemukan jawaban dilakukan dengan cara tidak ketat, misalnya menganjurkan siswa-siswa menemukan jawaban atas masalah pelik dengan memikirkan masalah yang ada persamaannya yang lebih sederhana atau berpikir secara analogi, berdasarkan simetri, atau dengan melukiskannya atau membuat diagram. Siswa dibimbing oleh guru agar menemukan sendiri konsep yang dicari, tetapi konsep itu belum tentu telah diketahui oleh guru sebelumnya.
7. Pendekatan Kecerdasan
Munzert, A.W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan memecahkan masalah. Kemudian David Weschler memberi rumusan tentang kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari individu untuk bertindak, berpikir rasional, dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Sedangkan Howard Gardner yang terkenal dengan kecerdasan gandanya, menganggap kecerdasan sebagai kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan produk dan kecerdasan tersebut dapat dikembangkan serta tidak bersifat tetap.
Gardner sebagai pencetus Theory of Multiple Intelligences menyatakan bahwa kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan tempat seseorang dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia. Gardner (dalam Hamzah, 2009:11) mendeskripsikan delapan kecerdasan manusia, yaitu: (1) kecerdasan linguistik (linguistic intelligences), (2) kecerdasan logika-matematis (logical-mathematical intelegences), (3) kecerdasan spasial (spatial intelligences), (4) kecerdasan badani-kinestetik (body-kinesthetic intelligences), (5) kecerdasan musikal (musical intelligences), (6) kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligences), (7) kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligences) dan (8) kecerdasan naturalis (naturalist intelegences).
Selanjutnya Daniel Goleman mengemukan kecerdasan dengan kecerdasan emosi (Emotional Quotient) yang disingkat EQ. Menurut pendapatnya kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam menggunakan atau mengelola emosinya secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dengan orang lain dan meraih keberhasilan (ditempat kerja). Selanjutnya menurut Daniel Goleman bahwa IQ akan dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu memfungsikan kecerdasan emosinya. Intelegence Ouotien (IQ) hanyalah merupakan satu unsur pendukung keberhasilan seseorang, keberhasilan itu akan tercapai tergantung kepada kemampuan seseorang itu menggabungkan antara IQ dan EQ.
Kecerdasan emosi mencakup semua sikap atau kemampuan pribadi (Personal Competence) seperti: (1) Mengenali emosi diri/kesadaran diri (Self Awarenes), (2) Mengelola emosi/Pengaturan Diri (Self Regulation), (3) Motivasi diri (Self Motivation), (4) Mengenal emosi orang lain/Empati (Social Awarenes), dan (5) Membina hubungan sosial (Social Skill).
Kecerdasan spiritual (spiritual intelegence) menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) berkenaan dengan kecakapan internal, bawaan dari otak dan psikis manusia, menggambarkan sumber yang paling dalam dari hati semesta itu sendiri. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan rohaniah, yang menuntun diri kita menjadi manusia yang utuh , berada pada bagian yang paling dalam dari diri kita, terkait dengan kebijaksanaan yang berada di atas ego. Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang bukan saja mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, yaitu memfasilitasi suatu dialog antara akal dan emosi. Kecerdasan emosi (EQ) tidak bisa menjembatani kesenjangan antara emosi-emosi. Demikianlah bahwa Tuhan menciptakan manusia dilengkapi dengan tiga potensi dasar IQ, EQ, dan SQ tinggal bagaimana kita mengelolanya.
Menilik beragamnya kecerdasan manusia, menjadi peran guru dan konselor amat penting untuk memberikan arahan pada apa yang cocok dan sesuai bagi siswanya. Oleh karena itu pelayanan belajar di sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah merupakan bagian dari jaminan kualitas. Karena jaminan kualitas ini yang akan memberi arah kepada para siswanya untuk mampu bertahan dan juga mampu berkembang sesuai potensi kecerdasannya.
8. Pendekatan Konstektual
Pendekatan konstektual (Contextual Teaching and Learning) disingkat CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembelajaran konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi duna nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Menurut Depdiknas (2008, 6-7) pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.
Tujuh konsep utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
a. Konstruktivisme (Constructivisme)
§ Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki
§ Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya
§ Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuannya itu.
b. Menemukan (Inquiry)
§ Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan menarik simpulan.
§ Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan observasi, analisis data, kemudian mengomunikasikan hasilnya
c. Bertanya (Questioning)
§ Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali informasi tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik.
§ Berguna bagi peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
§ Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif
§ Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang
e. Pemodelan (Modelling)
§ Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali informasi, demonstrasi, dan lain-lain.
§ Pemodelan dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
f. Refleksi (Reflection)
§ Tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari
§ Respon terhadap kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru
§ Hasil konstruksi pengetahuan yang baru
§ Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya
g. Penilaian Sebenarnya (Autentic Assesment)
§ Menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan
§ Berlangsung selama proses secara terintegrasi
§ Dilakukan melalui berbagai cara (test dan non-test)
§ Alternative bentuk: kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan konstektual, jika menerapkan konsep utama pembelajaran konstektual ini di dalam pembelajarannya. Penerapan pendekatan konstektual secara garis besar langkah-langkahnya adalah; (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan menkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri (menemukan) untuk semua pokok bahasan, (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) menciptakan masyarakat belajar, (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, (6) melakukan refleksi di akhir pertemuan, dan (7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, proses pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil, dimana siswa belajar mengkostruksi sendiri. Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Para siswa menyadari bahwa yang mereka pelajari akan berguna dan sebagai bekal hidupnya kemudian hari. Para siswa mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya ddan berupaya menanggapinya, itulah sebabnya para siswa tersebut memerlukan tenaga pengajar yang profesional sebagai pengarah dan pembimbing mereka dalam belajar.
Berdasarkan penjelasan berbagai macam pendekatan di atas, maka diharapkan guru sebagai garda terdepan di dalam program mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus bisa memilih pendekatan mana yang cocok digunakan di sekolahnya masing-masing. Karena tidak ada pendekatan, strategi, metode atau pun model yang cocok untuk semua kondisi yang ada atau diistilahkan dengan “pendekatan atau strategi atau metode sapu jagat”. Setiap sekolah pasti mempunyai kondisi yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya baik dari kemampuan siswa maupun sarana prasarana dan lain-lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Metode Mengajar
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. . Dalam bahasa Arab metode ialah طرﯾقه٫ﻤﻨﮭﺞ٫ﻨﻈﺎﻢ .
Menurut Tardrif (1989), mendefinisikan bahwa mengajar adalah suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Selain itu mengajar ialah kegiatan seorang pendidik (guru), dimana dengan perantaraan bahan pengajaran, guru dapat membawa anak dalam perbuatan pembentukan budi.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwasannya metode mengajar adalah sebagian suatu cara atau jalan yang dilakukan guru dalam rangka proses belajar mengajar, sehingga inividu yang diajar (dididik) akan dapat mencerna, menerima, dan mampu mengembangkan bahan-bahan atau materi yang diajarkannya. Sementara itu Sutomo (1993:155) juga mendefinisikan bahwa metode mengajar adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pengajaran yang ingin dicapai, sehingga semakin baik penggunaan metode mengajar semakin berhasilah pencapaian tujuan, artinya apabila guru dapat memilih metode yang tepat yang disesuaikan dengan bahan pengajaran, murid, situasi kondisi, media pengajaran, maka semakin berhasilah tujuan pengajaran yang ingin dicapai.

B. Peran Dan Tugas Guru
Pada dasarnya mengajar adalah mengusahakan terciptanya suatu situasi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar. Dengan demikian dengan jelasnya tujuan pengajaran, cara dan sarana yang digunakan dalam kegiatan mengajar dapat dirancang sedemikian hingga proses belajar dapat berlangsung dengan optimal. Dari pihak siswa yang belajar, tujuan dan rancangan tersebut memberinya pengetahuan tentang kemampuan, kegiatan dan materi apa yang harus dipelajari, pengetahuan ini dapat berguna sebagai pedoman belajarnya. Dengan demikian mengajar adalah kegiatan terorganisasi yang bertujuan untuk membantu dan menggairahkan siswa belajar. Mengajar adalah bukan tugas yang ringan bagi seorang guru. Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui perkembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh orang lain. Adapun peranan seorang guru diantaranya :
• Guru bertugas sebagai pengajar
• Guru bertugas sebagai pembimbing
• Guru bertugas sebagai administrator kelas
• Guru bertugas sebagai pengembang kurikulum
• Guru bertugas untuk mengembangkan profesi
• Guru bertugas untuk membina hubungan dengan masyarakat.

Guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya.
Dalam mengajar guru berhadapan dengan sekelompok siswa, mereka adalah makhluk hidup yang memerlukan bimbingan, dan pembinaan untuk menuju kedewasaan. Siswa setelah mengalami proses pendidikan dan pengajaran diharapkan telah menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan bermoral.



C. Metode Mengajar Dan Kriteria Pemilihannya
Metode pembelajaran merupakan cara melakukan, atau menyajikan, menguraikan, memberi contoh dan memberi latihan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Karena itu sangat dianjurkan untuk menggunakan berbagai macam metode (multi metode) dalam setiap kali penyajian bahan pengajaran. Uraian di bawah ini dimaksudkan untuk menolong kita memilih dan merangkai berbagai metode untuk meningkatkan efektifitas pengajaran.
Adapun kriteria pemilihan metode yang dimaksud adalah seperti yag dikemukakan berikut ini :
1. Tujuan pengajaran, yaitu tingkah laku yang diharapkan dapat dinampakkan siswa setelah proses belajar mengajar. Pengertian akan tujuan pendidikan itu mutlak perlu, sebab tujuan itulah yang akan menjadi sasaran dan menjadi pengarah daripada tindakan-tindakannya dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Dengan demikian guru akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang hendak dicapainya itu dan guru akan dapat pula mempersiapkan alat-alat apa yang akan dipakainya serta metode yang tepat yang akan digunakannya.
2. Kemampuan sisiwa, yaitu kemampuan siswa untuk menangkap dan memperkembangkan bahan pengajaran yang diajarkan. Hal ini banyak bergantung pada tingkat kematangan siswa baik mental, fisik, maupun intelektualnya. Jika siswa belum mempunyai prinsip, konsep dan fakta atu memiliki pengalaman, maka kemungkinan besar mereka belum dapat dipergunakan metode yang bersifat belajar mandiri. Metode yang digunakan hanyalah ceramah, demonstrasi dan lain-lain.
3. Materi pengajaran, yaitu bahan yang disajikan dalam pengajaran. Materi pengajaran yang berupa fakta memerlukan metode yang berbeda dari metode yang dipakai untuk mengajarkan materi yang berupa konsep, atau prosedur atau kaidah.
4. Besar kelas (jumlah siswa), yaitu banyaknya siswa yang mengikuti pelajaran dalam kelas yang bersangkutan. Kelas dengan 5-10 orang siswa memerlukan metode pengajaran yang berbeda dari metode pengajaran untuk kelas dengan 50-100 orang.
5. Kemampuan guru/dosen/instructor, yaitu kemampuan dalam menggunakan berbagai jenis metode pengajaran. Seorang guru ketika akan menggunakan metode tertentu ia harus mengerti tentang metode itu (misalnya jalannya pengajaran serta kebaikan dan kelemahannya, stuasi-situasi yang tepat dimana metode itu efektif dan wajar) dan trampil menggunakan metode itu.
6. Fasilitas yang tersedia, yaitu bahan atau alat bantu serta fasilitas lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Yang termasuk dalam factor fasilitas ini antara lain alat peraga, ruang, alat-alat praktikum, buku-buku, perpustakaan. Fasilitas ini turut menentukan metode mengajar yang akan dipakai oleh guru.
7. Waktu yang tersedia, yaitu jumlah waktu yang direncanakan atau dialokasikan untuk menyajikan bahan pengajaran guna mencapai tujuan pengajaran yang ditentukan. Untuk materi yang banyak yang akan disajikan dalam waktu yang singkat memerlukan metode yang berbeda dengan penyajian bahan yang relatif sedikit tetapi waktu penyajian relatif cukup banyak.
8. Situasi, yang termasuk dalam situasi di sini ialah keadaan para pelajar (yang menyangkut kelelahan mereka, semangat mereka, keadaan guru). apabila para pelajar telah lelah maka guru sebaiknya mengganti metode yang biasanya ceramah dengan menggunakan metode sosiodrama. Demikian pula apabila guru melihat bahwa pelajar sedang bersemangat, maka guru menggunakan metode diskusi.

Selanjutnya berbagai metode akan disajikan berikut karakteristiknya pada uraian berikut ini.
1. Metode Ceramah
Yang dimaksud dengan metode ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran dimana cara menyampaikan pengertian-pengertian materi pengajaran kepada anak didik dilaksanakan dengan lisan oleh guru terhadap kelas. Hubungan antara guru dengan anak didik banyak menggunakan bahasa lisan. Perlu diketahui bahwa dalam metode ceramah ini peranan utama adalah guru. Pada metode ceramah ini, siswa dilatih untuk menjdi pendengar yang baik, siswa dilatih mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan, memahami suatu informasi, dan mencatatnya dengan baik.
Metode ceramah dapat dilakukan :
a. Untuk memberikan pengarahan, petunjuk di awal pembelajaran.
b. Waktu terbatas, sedangkan materi/ informasi banyak yang akan disampaikan.
c. Lembaga pendidikan memiliki sedikit staf pengajar, sedangkan jumlah siswa banyak.
Keunggulan metode ceramah :
a. Tidak melibatkan terlalu banyak alat pembantu.
b. Dapat dipakai pada kelompok yang besar.
c. Dapat dipakai untuk mengulang atau memberi pengantar pada pelajaran atau aktivitas.
Kekurangan metode ceramah :
a. Peran serta siswa dalam pembelajaran rendah.
b. Keberhasilan siswa tidak terukur.
c. Membatasi daya ingat.

2. Diskusi Kelompok
Diskusi kelompok ialah percakapan yang direncanakan atau dipersiapkan di antara tiga orang siswa atau lebih tentang topik tertentu.
Metode diskusi kelompok dapat dilakukan :
a. Pada waktu saling mengemukakan pendapat.
b. Untuk membantu siswa mengemukakan pendapatnya.
c. Untuk mengenal dan mengolah problema.

Keunggulan metode diskusi kelompok :
a. Memberi kemungkinan untuk saling mengemukakan pendapat.
b. Belajar mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan.
c. Membiasakan siswa untuk berargumentasi dan berfikir rasional.
Kekurangan metode diskusi kelompok :
a. Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar.
b. Menyita waktu lama dan jumlah sisiwa harus sedikit.
c. Mempersyaratkan siswa memiliki latar belakang yang cukup tentang topic atau masalah yang didiskusikan.
3. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.
Metode demonstrasi dapat dilakukan :
a. Apabila akan memberikan keterampilan tertentu.
b. Untuk memudahkan berbagai penjelasan , sebab penggunaan bahasa dapat lebih terbatas.
c. Untuk membantu anak memahami dengan jelas jalannya suatu proses dengan penuh perhatian sebab akan menarik.
Keunggulan metode demonstrasi :
a. Perhatian siswa akan lebih dipusatkan.
b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa.
Kekurangan metode demonstrasi :
a. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan terutama untuk pengadaan alat-alat modern.
b. Membutuhkan waktu panjang, karena siswa harus mendapatkan kesempatan berpraktek sampai baik.
c. Banyak alat-alat yang tidak dapat didemonstrasikan dalam kelas karena besarnya atau karena harus dibantu dengan alat-alat lain.
4. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab ialah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran dimana guru bertanya sedangkan murid-murid menjawab tentang bahan materi yang ingin diperolehnya.
Metode Tanya jawab dapat dilakukan :
a. Mengulangi pelajaran yang lalu untuk mengaitkan dengan pelajaran yang baru.
b. Sebagai selingan dalam pembicaraan.
c. Untuk merangsang anak didik agar perhatiannya tercurah kepada masalah yang sedang dibicarakan.
Keunggulan metode tanya jawab :
a. Siswa dapat aktif dalam pengajaran.
b. Terbuka peluang bagi siswa untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas.
c. Perbedaan pendapat dengan siswa atau antara siswa dapat diketahui sehingga mudah diarahkan kepada diskusi yang sehat.
Kekurangan metode Tanya jawab :
a. Hampir tidak ada informasi baru yang diperoleh.
b. Mudah terpancing untuk menyimpang dari pokok atau bahan pelajaran.
c. Dapat menghambat cara berfikir , apabila guru kurang pandai dalam membawakannya.
5. Metode Pemberian Tugas (Resitasi)
Pemberian tugas adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di luar jadwal sekolah dalam rentang waktu tertentu dan hasilnya harus dipertanggungjawabkan (dilaporkan) kepada guru.
Metode Pemberian Tugas dapat dilakukan :
a. Untuk mengaktifkan anak-anak mempelajari sendiri suatu masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan soal-soal sendiri, mencoba sendiri.
b. Siswa perlu memperdalam penguasaan bahan pelajaran.
c. Agar siswa lebih rajin dan mempunyai rasa tanggng jawab.
Keunggulan Metode Pemberian Tugas :
a. Dapat mendorong inisiatif siswa.
b. Memupuk minat dan rasa tanggung jawab.
c. Dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Kekurangan Metode Pemberian Tugas :
a. Sukar mengontrol apakah hasil tugas itu benar-benar hasil usaha sendiri atau bukan.
b. Apabila tugas itu terlalu banyak/berat, akan mengganggu keseimbangan mental anak.
c. Sukar memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan tiap imdividu.
6. Metode Kerja Kelompok
Kerja kelompok dapat diartikan sebagai suatu kegiatan belajar-mengajar dimana siswa dalam suatu kelas dipandang sebagai suatu kelompok atau dibagi atas kelompok-kelompok kecil untuk mencapai suatu tujuan pengajaran tertentu.
Metode Kerja Kelompok dapat dilakukan :
a. Apabila minat individual anak-anak berbeda-beda.
b. Bila kemampuan diantara yang lainnya berbeda-beda.
c. Bila kekurangan alat pelajaran di dalam kelas, sehingga perlu dibuat menjadi sebuah kelompok.
Keunggulan Metode Kerja Kelompok :
a. Dapat memupuk rasa kerjasama.
b. Suatu tugas yang luas dapat segera diselesaikan.
c. Adanya persaingan yang sebat.
Kelemahan Metode Kerja Kelompok :
a. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung kepada orang lain.
b. Bila kecakapan tiap anggota tidak seimbang, akan rnenghambat kelancaran tugas, atau didominasi oleh seseorang.


7. Metode Eksperimen (praktikum)
Metode Eksperimen ialah suatu cara memberikan kaesempatan kepada siswa secara perorangan atau kelompok untuk berlatih melakukan suatu proses percobaan secara mandiri.
Metode Eksperimen digunakan :
a. Pelajaran telah mencapai tingkat lanjutan.
b. Kegiatan pembelajaran bersifat formal, latihan kerja.
c. Siswa mendapat kemungkinan untuk menerapkan apa yang dipelajarinya ke dalam situasi sesungguhnya.
Keunggulan Metode Eksperimen :
a. Siswa dapat menemukan fakta, mengumpulkan data, dan menarik kesimpulan atas percobaannya.
b. Akan mengurangi kesalahan dalam mengambil kesimpulan.
c. Memberikan kemungkinan agar siswa dapat berfikir lebih kritis.
Kekurangan Metode Eksperimen :
a. Membutuhkan waktu panjang, karena siswa harus mendapatkan kesempatan berpraktik sampai baik.
b. Membutuhkan fasilitas dan alat khusus yang mungkin mahal, sulit diperoleh, dan dipelihara secara terus menerus.
c. Membutuhkan pengajar yang lebih banyak, karena setiap pengajar hanya dapat membantu sejumlah kecil siswa.


8. Metode Karya Wisata

Metode karya wisata sering diberi pengertian sebagai suatu metode pengajaran uang dilaksanakan dengan jalan bertamasya di luar kelas. Dalam perjalanan tamasya ada hal-hal tertentu yang telah direncanakan oleh guru untuk didemonsttasikan pada anak didik, di samping hal-hal yang secara kebetulan di temukan di dalam perjalanan tamasya tersebut.
Metode karya wisata digunakan :
a. Apabila akan memberi pengertian yang lebih jelas dengan alat peraga langsung.
b. Apabila akan membangkitkan penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan tanah air.
c. Apabila akan mendorong anak menghargai lingkungan dengan baik.
Keunggulan metode karya wisata:
a. Memberi kepuasan terhadap keinginan anak mengenal lingkungan dengan banyak melihat kenyataan-kenyataan di samping keindahan alam di luar kelas.
b. Anak didik dapat memperoleh tambahan pengalaman melalui karya wisata sedangkan guru mendapat kesempatan menerangkan segala sesuatu.
c. Anak didik akan bersikap terbuka, obyektif luas pandangan akibat dari pengetahuan yang diperoleh dari luar yang akan mempertinggi prestasi kepribadiannya.
Kekurangan metode karya wisata :
a. Apabila obyek karya wisata tidak cocok untuk mencapai tujuan.
b. Waktu yang tersedia tidak mencukupi.
c. Pembayaran karya wisata merupakan bahan tambahan anak, sehingga memberatkan bagi anak-anak yang kurang mampu.
9. Metode Sosiodrama Dan Bermain Peranan
Metode sosiodrama adalah metode mengajar dengan mendemonstrasikan cara bertingkah laku dalam hubungan social, sedangkan bermain peranan menekankan kenyataan di mana para murid diikutsertakan dalam memainkan peranan di dalam mendemonstrasikan masalah-masalah hubungan sosial.
Metode Sosiodrama dan Bermain Peranan dilakukan :
a. Apabila kita ingin menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak.
b. Apabila kita ingin melihat anak-anak agar mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.
c. Apabila kita akan melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.
Keunggulan Metode Sosiodrama dan Bermain Peran :
a. Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian.
b. Metode ini akan menarik perhatian anak sehingga kelas suasananya menjadi hidup.
c. Anak-anak dapat menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatannya sendiri.
Kekurangan Metode Sosiodrama dan Bermain Peran :
a. Matode ini memakan waktu cukup banyak.
b. Memerlukan persiapan yang teliti dan matang.
c. Kadang-kadang anak-anak tidak mau mendramatisasikan sesuatu adegan karena malu.

BAB II
JENIS-JENIS BELAJAR
A. Definisi Belajar
Depdiknas (2003) mendefinisikan belajar sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan presepsi, pikiran, perasaan siswa. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya.
Moh. Surya (1997) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan prilaku baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

B. Jenis-Jenis Belajar
Dalam proses belajar dikenal dengan adanya bermacam-macam kegiatan yang memiliki corak yang berbeda antara satu dengan lainnya, baik dalam aspek materi dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga bermacam-macam.
1. Abstrak
Belajar abstrak adalah belajar yang menggunakan berfikir abstrak. Tujuannya adalah untukmemperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat di samping penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam jenis ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi, dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid.


2. Keterampilan
Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olahraga, music, menari, melukis, memperbaiki benda-beda elekrtonik, dalam bidang teknologi rekayasa (enginering); menguraikan dan menyusuri kembali hasil teknologi seperti otomotif, elektronika, ketukangan ataupun mesin, teknologi pengolahan; mengubah fungsi, bentuk, sifat, kualitas bahan maupun prilaku obyek seperti teknologi pengolahan bahan pangan, teknologi pengolahan tanaman, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah shalat dan haji.
3. Sosial
Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguaai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah social seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan.
Selain itu belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur dorongan nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan member peluang kepada orang lain atau kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya secara berimbang dan proporsional. Bidang studi yang termasuk bahan pelajaran sosial anatara lain pelajaran agama dan PPKn.
4. Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan.
Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajarpemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta, seperti matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada pemecahan masalah.
5. Rasional
Belajar rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan sistematis (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan rasional problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis.
Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar rasional sama dengan bidang-bidang studi untuk belajar pemecahan masalah. Perbedaannya, belajar rasional tidak emberi tekanan khusus pada penggunaan bidang studi eksakta. Artinya, bidang-bidang studi noneksakta pun dapat member efek yang sama dengan bidang studi eksakta dalam belajar rasional.
6. Kebiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Selain itu arti tepat dan positif di atas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religious maupun tradisional dan cultural. Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional/2003 Bab VI Bagian Keenam Pasal 27 (1). Namun demikian, tentu tidak menutup kemungkinan penggunaan pelajaran agama sebagai sarana belajar kebiasaan bagi para siswa.
7. Apresiasi
Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperolehda mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal iini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi music, dan sebagainya.
Bidang-bidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi antara lain bahasa sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian, dan menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan untul digunakan sebagai alat pengembangan apresiasi siswa, misalnya dalam hal seni baca tulis Al-Qur’an.
8. Pengetahuan
Belajar pengetahuan (studi) ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diratikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1998). Tujuan belajar pengetahuan ialah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.
Contoh: kegiatan siswa dalam bidang studi fisika mengenai “gerak” menurut hukum Newton I. dalam hal ini siswa melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa setiap benda tetap diam atau bergerak secara beraturan, kecuali kalau ada gaya luar yang mempengaruhinya.


Daftar Pustaka
1. Harjanto, Perencanaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2010 (cetakan ke-7).
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.
3. Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, ROSDA, Bandung, 2009 (cetakan ke-3).
4. Depdiknas.2008. Pengembangan Model Pembelajaran Tatap Muka, Penugasan Terstruktur dan Tugas Mandiri Tidak Terstruktur. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Jakarta.
5. Syaiful Sagala.2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
6. Yatim Riyanto.2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
7.
8. Abu Ahmadi, Drs, Metodik Khusus Pendidikan Agama,Armico.
9. Made Pidarta,Prof, Cara Belajar Mengajar Di Universitas Negara Maju,(Bumi Aksara, 1990)
10. Slamanto, Drs, Proses Belajar Mengajar Dalam Sistem Kredit Semester, (Jakarta,Bumi Aksara, 1991)
11. Udin Syaefudin, Prof, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung, Alfabeta, 2010)
12. Prof.Dr. Oemar Hamalik. Bumi Aksara.
13. Drs. Harjanto. Rineka Cipta
14. Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran, ROSDA, Bandung, 2009 (cetakan ke-3).
15. Subandijah, Perencanaan pengajaran, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar