Jumat, 06 Mei 2011

Ilmu Tasawuf

HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT DAN PSIKOLOGI
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya itu memiliki kedudukan masing masing, ada yang menjadi ilmu pokok (ushul), cabang (furu’), pengantar (muqadimah) dan pelengkap (mutamimmah).
Membahas mengenai ilmu tasawuf, maka tidak akan terlepas keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya seperti: ilmu kalam, filsafat dan psikologi. Keterkaitan antara ilmu-ilmu ini adalah sebagai mutamimmah. Untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai hubungannya, terlebih dahulu kita memahami pengertian-pengertiannya.
HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT DAN PSIKOLOGI
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya itu memiliki kedudukan masing masing, ada yang menjadi ilmu pokok (ushul), cabang (furu’), pengantar (muqadimah) dan pelengkap (mutamimmah).
Membahas mengenai ilmu tasawuf, maka tidak akan terlepas keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya seperti: ilmu kalam, filsafat dan psikologi. Keterkaitan antara ilmu-ilmu ini adalah sebagai mutamimmah. Untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai hubungannya, terlebih dahulu kita memahami pengertian-pengertiannya.

2.1 Pengertian Tasawuf, Ilmu Kalam, Filsafat dan Psikologi Agama
Tasawuf adalah ajaran (cara dan sebagainya) otak mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar denganNya. Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spritual dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Tasawuf berusaha mengetahui dan menemukan Kebenaran Tertinggi (Allah SWT) dan bila mendapatkannya, seorang sufi tidak akan banyak menuntut dalam hidup ini.
Ilmu kalam menurut Ibnu Kaldun adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional. Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) dan Dalil Naqli (Al-Qur’an dan Hadis).
Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumannya. Pengetahuan indera mencakup segala sesuatu yang dapat diindera. Batasnya: segala sesuatu yang tidak tertangkap panca indera; pengetahuan ilmu mencakup sesuatu yang dapat diteliti (riset). Batasnya: segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian;pengetahuan filsafat mencakup segala sesuatu yang dapat difikir oleh akal budi (rasio). Tiga ciri berfikir filsafat, yaitu radikal, sistematis, universal.
Menurut DR. Jalaluddin, psikologi Agama adalah cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.

2.2 Titik Persamaan Tasawuf, Ilmu Kalam, Filsafat dan Psikologi Agama
Tasawuf, ilmu kalam, filsafat dan psikologi agama mempunyai kemiripan objek kajian Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Lalu yang menjadi titik persamaan antara tasawuf dengan psikologi agama adalah sama-sama membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentu tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.

2.3 Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argument rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertedensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Qur’an dan Hadits. Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli).
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohani). Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam prilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama salaf, maka hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan kalam, sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniyah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniyah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi konstribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki, hasud dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak memiliki rasa sombong dan membanggakan diri. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah.
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

2.4 Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Filsafat
Ilmu tasawuf berkembang didunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminology jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminology yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, salah satunya Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

2.5 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan prilaku yang dipraktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat, zat dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Ahli-ahli di bidang perawatan jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju, memusatkan perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental. Mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia menjadi dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan kurang sehat.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang membawa dirinya dan orang lain pada kebahagiaan. Di samping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas sehingga terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, dan moralnya pun tetap terpelihara.
Pada perilaku yang sehat mental tidak akan tampak sebuak sikap yang ambisius, sombong, rendah diri dan apatis. Sikapnya terkesan wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya pun digunakan untuk menfaat dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah.
Sebaliknya, golongan yang kurang sehat mentalnya sangat luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari orang yang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Berbagai penyakit tersebut sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenangan itu akan memunculkan penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati.
Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji, semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa atau ilmu kesehatan mental.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Perbedaan Maqam Dan Ahwal
Di samping tasawuf, Islam juga mengenal ajaran ruhani (ilmu) lainnya yang disebut ’irfan . Menurut Ruhullah Syams, sebagaimana yang dilihat secara umum istilah ’irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim di dunia Islam hari ini .
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- iman al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri ad-dzauqi). Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama dari hal).
Banyak jalan dan cara yang ditempuh oleh seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti memperbanyak dzikir, beramal soleh, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam perjalanan spiritualnya , seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan . Tahapan-tahapan itu disebutkan maqamat/stasiun (jama dari maqam). Syamsum Niam menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna membangun jiwa seorang hamba Allah SWT.
Sedangkan Al-ahwal , menurut sufi jamak dari al-hal, dalam bahasa inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari usahanya. Dengan kata lain seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat.

B. Macam-Macam Maqam Dalam Tasawuf
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain :
1. Tobat
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Sedangkan pada tingkat menengah, di samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
2. Zuhud
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
3. Faqr (fakir)
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah.
4. Sabar
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
5. Syukur
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah, Allah lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
6. Rela (Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugrahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintanya.
7. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.

C. Hal-hal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi
Hal-hal yang dimaksud adalah al-ahwal yang dialami para salik dalam menempuh perjalanan menuju ma’rifatullah. Al-ahwal tersebut diantaranya :muhasabah dan muraqabah, qarb, hubb, raja dan khauf, syauq, uns. Namun berikut ini adalah penjelasan dari beberapa hal saja :
1. Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah .
Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati,yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (murakobah) adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
2. Cinta (hub)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Menurut kalangan kaum sufi, raja dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja dapat berarti berharap atau optimism, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Raja menuntut tiga perkara, yaitu :
• Cinta kepada apa yang diharapkannya.
• Takut bila harapannya hilang.
• Berusaha untuk mencapainya.
Khauf dan raja saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat. Sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sikap raja terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.
4. Rindu (syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi rindu kepada Tuhan, maut dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan ma;budnya.
5. Intim
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi.

D. Metode Irfani
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat ma’rifat . para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs, dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut.
1. Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya . Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk . Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data).
2. Tafakur (refleksi)
Tafakur penting dilakukan bagi yang menginginkan ma’rifat, karena tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu kemydian memikirkan atau bertafakur dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan baginya. Tafakur menurut Al-Ghazali orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi, al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapatkan ilham.
Tafakur berangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah atau jiwa. Selanjutnya, tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli. Nafsi kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memperoleh ilmu, terutama ilmu ma’rifat. Sebab, ilmu yang dihasilkan dengan cara penggunaan nafs kulli lebih bersifat universal, tidak persial. Untuk memfungsikan nafs kulli diperlukan kegiatan tafakur dan disinilah tafakur memeganf peranan sangat penting.
3. Tazqiyat An-Nafs
Metode ini adalah prosese penyujian jiwa manusia. Dalam kerangka tasawuf ini, dapat dilakukan melalui tahapan takhali dan tahalli. Kegiatan ini merupakan kegiatan inti bertasawuf.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan pleh setiap orang yang menginginkan ilmu ma’rifat. Hal ini perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat tidak dapat diterima oleh manusia yang jiwanya kotor. Ada lima hal yang jadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu : Pertama jiwa yang belumsempurna. Kedua jiwa yang dikotori oleh perbuatan maksiat. Ketiga sikap menuruti keinginan badan. Keempat adanya penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taklid). Kelima tidak dapat berfikir logis. Tazqiyat An-Nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar, objek ,material.
4. Dzikrullah
Istilah ’zikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat . Berzikir kepada Allah berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci . Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat.
Berikut penjelasan
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya . Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. .
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan kalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)

E. Tokoh Tasawuf Irfani
1. Rabiah Al-Adawiyah
Ia dilahirkan pada tahun 95 H/713 M. disuatu perkampungan dekat kota basroh (irak) dan wafat dikota itu pada tahun 185 H/801 M.
Adapun ajaran tasawuf Rabiah Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam, tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
2. Dzul Al-nun Al-Mishri
Ia dilahirkan di Ikhmim di dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Adapun ajaran tasawufnya adalah pelopor paham ma’rifat kepada Allah. Menurutnya ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan cara ma’rifat batin.
3. Abu yazid Al-Bustami
Ia terlahir didaerah bustam atau Persia pada tahun 874 dan wafat 947 M. Adapun ajran tasawuf nya adalah fana dan baqa . Fana dalam istilah tasawuf, diartikan sebagai keadaan moral yang luhur dalam segi bahasa fana berarti rusak atau lenyap. pada tahap fana menurut beliau dapat dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti dalam ceritanya.
Dalam fananya abu yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah berada dekat tuhan dapat dilihat dari syadat yang dilakukannya. Adapun Baqa, berasal dari kata baqia yang artinya tetap. Sedangkan menurut istilah tasawuf berarti mendirikan sikap-sikap terpuji pada Allah. Jadi paham baqa dan Fana ini berpasangan. Jika seorang sufi mengalami fana, ketika itu juga dia menjalani baqa.
PERKEMBANGAN TASAWUF
A. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi dan Falsafi
Dalam sejarah perkembangannya para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi, adapun yang kedua yaitu disebut dengan tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
Perkembangan tasawuf dalam Islam mengalami beberapa fase:
Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad pertamadan kedua hijriyah. Sikap asketisme ini banyak dipandang sebagai pengatar kemunculan tasawuf. Terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah Al-Adawiyah.
Pada abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlaq keagamaan. Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hjriyah muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkanpemikiran yang eksklusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj yang kemudian diukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami peristiwa itu karena faham hululnya ketika itu sangat kontroversial dengan kenyataan di masyarakat yang tengah menggandrungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayakan pemikiran umat. Banyak pengamat tasawuf menilai bahwa jenis ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriyah muncullah Imam Al-Gazhali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf berdasarkan Al-qur’an dan Assunah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah. Sejak abad keenam hijriyah sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh peloksok dunia Islam. Dengan demikian aliran tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf Sunni yang lebih berorientasi kepada pengokohan akhlaq, dan tasawuf falsafi yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalm ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul. Al-Ghazali dipandang sbagai pembela terbesar tasawuf Sunni. Pandangan tasawufnya seiring dengan para ahli sufi aliran pertama,abad ketiga, dan keempat hijriyah. Di samping itu pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi, tetapi Al-Ghazali memiliki kelebihan dalam pengetahuan dan kedalaman tasawufnya disbanding dengan semua tokoh di atas.
Di luar dua airan tasawuf di atas, ada juga yang memasukan tasawuf aliran ketiga yaitu tasawuf Syi’i atau Syi’ah. Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali Bin Abi Thalib.
B.
C. Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Bagian terpenting tujuan tsawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan. Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat kebahagiaan yang optimum manusia haruslah lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan cirri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentuan pribadi yang bermoral dan berakhlaq mulia. Falsafah hidup seseorang tentang kehidupan material merupakan alat ukur bagi baik buruknya skap mental atau rohaninya. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi hanya sekedar jembatan. Menurut Al-Ghazali tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlaq. Bagi sufi keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimilikinya, dari pangkat yang dijabatnya,dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlaqpribadi yang diterapkannya.
Dalam tasawuf akhlaqi system pembinaan akhlaq disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlaq tercela, salah satunya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Sekelompok sufi yang moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi yaitu sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan. Bagi mereka, cara memperoleh keridoan Tuhan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material. Pengingkaran ego dengan cara meresapkan diri pada kemauan Tuhan merupakan perbuatan utama.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiaskan diri dengan sikap, prilaku, dan akhlaq terpuji. Tahapan Tahalli dilakukan para sufi setelhnya mengosongkan jiwa dari akhlaq-akhlaq jelek.
Sikap mental dan perbuatan baik tang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain berikut ini:
a. Tobat
Al-Gazhali mengklasifikasikan tobat kepada tiga tingkatan:
1) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuk dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
2) Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik lagi. Keadaan ini sering disebut “inabah”.
3) Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
b. Cemas dan harap (khauf dan raja’)
Menurut Al-Bashri cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut dapat mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah.
c. Zuhud
Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.dari definisi ini, para sufi berlainan pendpat. Al-Ghazali engartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterkaitan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang diterimanya. Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular yang licin apabila di pegang tetapi racunnya dapat membunuh.
d. Al-Shabru
Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Al_ghazali membedakan tingkatan sabar. Kemampuan mengatasi hawa nafsu, perut, dan sosial disebut iffah. Kesanggupan seseorang meguasai diri agar tidak marah disebut hilm. Ketabahan hati untuk menerima nasib dinamakan qana’ah, sedangkan yang bersifat pantang menyerah dan satria dikatakan syaja’ah.
e. Ridha
Ridha mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang dating dari Allah baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.
f. Al-Faqr
Bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
g. Muraqabah
Seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Ia tahu dan sadar bahwa Allah memandang kepadanya.
3. Tajalli
Kata Tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlaq dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada Allah.
D. Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi serta Karakteristiknya
Tasawuf sunni yang terus berkembang sejak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
Adapun ciri-ciri taswuf Sunni antara lain:
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
2. Tidak menggunakan terminology-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at.
5. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlaq, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Adapun ciri-ciri tasawuf filosofis menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib.
3. Peristiwa-peristiwa dalm alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyyat).
Selain karakteristik secara umum, ada juga karakteristik tasawuf filosofis secara khusus, diantaranya:
1. Tasawuf filosofis banyak mengkonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional filosofis dengan perasaan (dzauq).
2. Didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadlah) yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
3. Memandang iluminasi sebagai metod untuk mengetahui berbagai hakikat realitas yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.
4. Para penganut faham ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas dengan berbagai symbol atau terminologi.


Daftar Pustaka
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.
2. Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, C.V Pustaka Setia, Bandung, 2000.
3. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, C.V Pustaka Setia, Bandung, 2010.
4. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
5. Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
6. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.

1 komentar: