Jumat, 06 Mei 2011

Psikologi Pendidikan

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Efisiensi dan Pendeketan Belajar
Pada umumnya orang melakukan usaha atau bekerja dengan harapan memperoleh hasil yang banyak tanpa mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang banyak pula, atau dengan kata lain efisien. Efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan yang terbaik antara usaha dengan hasilnya (Gie, 1985). Denagan demikian, ada dua macam efisiensi yang dapat dicapai siswa, yaitu 1) efisiensi usaha belajar; 2) efisiensi hasil belajar.
1. Efisiensi Usaha Belajar
Suatu belajar dapat dikatan efisien kalo prestasi belajar yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha yang minimal. Usaha dalam hal ini adalah sesuatu yang digunakan untuk mendapat hasil belajar yang memuaskan, seperti: tenaga dan pikiran, waktu, peralatan belajar, dan lain lain hal yang relevan dengan kegiatan belajar.
2. Efisiensi Hasil Belajar
Selanjutnya, sebuah kegiatan dapat pula dikatakan efisien apabila dengan cara belajar tertentu memberikan prestasi belajar tinggi.
PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Efisiensi dan Pendeketan Belajar
Pada umumnya orang melakukan usaha atau bekerja dengan harapan memperoleh hasil yang banyak tanpa mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang banyak pula, atau dengan kata lain efisien. Efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan yang terbaik antara usaha dengan hasilnya (Gie, 1985). Denagan demikian, ada dua macam efisiensi yang dapat dicapai siswa, yaitu 1) efisiensi usaha belajar; 2) efisiensi hasil belajar.
1. Efisiensi Usaha Belajar
Suatu belajar dapat dikatan efisien kalo prestasi belajar yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha yang minimal. Usaha dalam hal ini adalah sesuatu yang digunakan untuk mendapat hasil belajar yang memuaskan, seperti: tenaga dan pikiran, waktu, peralatan belajar, dan lain lain hal yang relevan dengan kegiatan belajar.
2. Efisiensi Hasil Belajar
Selanjutnya, sebuah kegiatan dapat pula dikatakan efisien apabila dengan cara belajar tertentu memberikan prestasi belajar tinggi.
B. Metode Belajar
Ragam metode belajar
1. Metode SQ3R
SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan langkah langkah mempelajari teks yang meliputi:
a. Survey, maksudnya memeriksa atau meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks. Dalam melakukan aktivitas survei, anda perlu membantu dan mendorong siswa untuk memeriksa atau meneliti secara singkat seluruh setruktur teks. Tujuannya adalah agar siswa mengetahui panjangnya teks. Dalam melakukan survei siwa dianjurkan menyiapkan pensil, kertas, dan alat untuk membuat ciri seperti stabilo.
b. Question, maksudnya menyusun daftar pertanayaan yang relevan dengan teks. Anda seyogianya memberi petunjuk atau contoh kepada para siswa untuk menyusun pertanyaan pertanyaan yang jelas, singkat, dan relevan dengan bagian bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama, jumlah pertanyaan tergantung pada panjang pendeknya teks, dan kemapmpuan siswa dalam memahami teks yang sedang dipelajari.
c. Read, maksudnya membaca teks secara aktif untuk mencari Jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang telah tersusun. Anda seyogiayanya menyuruh siswa membaca secara aktif dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang telah tersusun.
d. Recite, maksudnya menghafal setiap jawaban yang ditemukan. Seyogiayanya anda menyuruh menyebutkan lagi jawaban jawaban yang telah tersusun.
e. Review, maksudnya meninjau ulang seluruh pertanyaan yang telah tersusun pada langkah kedua dan ketiga. Seyogianya meninjau ulang seluruh pertanayaan dan jawaban secara singkat.
2. Metode PQ4R
Metode belajar lain yang dipandang dapat meningkatkan kinerja memori dalam memahami substansi ‘teks adalah metode ciptaan Thomas & Robinson (1972) yang disebut PQ4R singkatan dari prieview, question, read, reflect, recite, review.
a. Preview. Bab yang akan dipelajari hendaknya disurvei dahulu untuk menentukan topik umum yang terdapat di dalamnya. Kemudian, subbab-subbab yang ada di dalam bab tersebuthendaknya diidentifikasi sebagai unit unit yang akan di baca.
b. Quesstion, pertanayaan-pertanyaan yang relevan dengan subbab hendaknya di susun misalnya dengan cara mengubah judul subbab yang bersangkutan kedalam bentuk kaliamt kalimat bertanya.
c. Read, isi subbab hendaknya di baca dengan cermat sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan yang telah disusun tadi.
d. Reflect, selama membaca isi subbab hendaknya dikenang(dipikirkan) seraya memahami isi dan menangkap contoh contohnya serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimilki.
e. Recite, setelah sebuah subbab selesai dibaca, informasi yang terdapat di dalamnya hendaknya diingat ingat lalu, semua pertnayaan mengenai subbab tersebut dijawab.
f. Review, setelah menyelesaikan satu bab, tanamkanlah materi bab tersebut kedalam memori sambil mengingat ngingata intisari intisarinya. Kemudian jawablah sekali lagi seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan subbab dari bab tersebut.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar pada pagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4. Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5. Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Ciri Prilaku Belajar
Sebelumnya marilah kita bahas mengenai
Pengertian Belajar dan Perubahan Perilaku dalam Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?
Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :
• Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
• Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
• Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan,
pengetahuan dan sikap baru”.
• Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul
atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
• Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif
menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
• Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul
karena pengalaman”


Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1.Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2.Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3.Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku- buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :
1.Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis
maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan
sebagainya.
2.Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3.Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan
keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4.Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5.Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol
oleh otot dan fisik.
http://www.scribd.com/doc/23506184/Pengertian-Belajar-Dan-Perubahan-Perilaku-Dalam

BAB II
KESULITAN BELAJAR, DIAGNOSIS BELAJAR, DAN ALTERNATIP
PEMECAHAN KESULITAN BELAJAR


A. KESULITAN BELAJAR
Setiap Siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tanpak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dala hal kemampuan intelektul, kemampua fisik, latarbelakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuankurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori di luar rata-rata itu ( sangant pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga di alami oleh siswa yang berkemampuan tinggi.
Selain itu, kesulitan belajar juga dapat di alami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh factor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.







B. FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan prilaku (misbehavior) siswa seperti suka berteriak-teriak didalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering muinggat dari sekolah. Secara garis besar, factor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam yaitu :
1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri, Faktor intern siswa juga meliputi gangguan atau kekuran mampuan psiko-fisik siswa, yakni :
a. Yang bersifat Kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual siswa;
b. Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap
c. Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran;
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadan-keadaan yang datang dari luar diri siswa, Faktor ekstren siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkunga sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa factor lingkungan ini meliputi :
a. Lingkungan keluarga, contohnya : ketidak harmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
b. Lingkungan masyarakat, contohnya : wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan yang nakal.
c. Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seprti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah.






Selain Faktor-faktor yang bersifat umum diatas, ada pila factor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa.Diantara Faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai factor khusus ini ialah Sindrom psikologis berupa learning disability (ketidak mampuan belajar).Yang menimbulkan kesuliyan belajar itu terdiri atas :
a. Disleksia adalah ketidak mampuan belajar membaca.
b. Disgrafia adalah ketidak mampuan dalam belajar menulis.
c. Diskalkulia adalah ketidak mampuan dalam belajar matematika.
Namun demikian, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara uum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak.

C. DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR
Istilah diagnosis yang digunakan dalam dunia pendidkan sebenarnya tidak berbeda dengan istilah diagnosis yang digunakn dalam dunia kedokteran. Kata diagnosis berasal dai bahasa yunani dan berarti penetuan jenis penyakit dengan meneliti gejala-gejalanya, proses pemerikasaan terhadap hal yang di pandang tidak beres.
Sebelum menetafkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat) terhadap phenomena yang menunjukan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlikaan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorentasikan pada ditemikannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur ini dikenal sebagai diagnostic kesulitan belajar.



Banyak langkah-langkah diagnostic yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur wieener & senf sebagaimana yang dikutip wardani (1991) sebagai berikut :

a. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
b. Memerikasa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
c. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin mnimbulkan kesulitan belajar.
d. Memberikan tes disgnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang di alami siswa.
e. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 tes IQ. Dalam hal ini, yang perl;u dicatat adalah apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu berIQ jauh dibawah normal (tuna grahita), orang tua hendakny mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusus untuk anak-anak abnormal.
D. ALTERNATIP PEMECAHAN KESULITAN BELAJAR
Banyak alternative yang dapat di ambil oleh guru daam mengatasi kesulitan belajar iswanya. Akan tetapi, sebelum pppilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting yang meliputi:
1) Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh yang benar mengenai kesulitan belajar yang di hadapi siswa;
2) Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memperlukan perbaikan;
3) Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial tecging (pengajaran perbaikan).
Setelah langkah-langkah di atas selesai, baru lah guru melaksanakan langkah selanjutnya, yakni melaksanakan program perbaikan.
a. Analisis hasil Diagnosis
Data dan informasi yang di peroleh guru melalui diagnostic kesulitan belajar tadi perlu di analisis sedemiokian rupa, sehingga jenis kesulitan belajar khusus yang di alami siswa yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh; Siti ulimah mengalami kesulitan khusus dalam memahami konsep kata polisemi.
Polisemi ialah sebuah istilah yang menunjuk kata yang memiliki dua makna atau lebih.seperti kata turun, umpamanya dapat di pakai dalam berbagai frase seperti turun harga turun, turun tangan dan sebgainya.
b. Menentukan kecakapan Bidang Masalah
Berdasarkan analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang-bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu;
Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleg guru sendiri;
Bidang kecakapan bermaslah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua;
Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani oelh guru maupun orang tua;
Bidang kecakapan yang tidak bias ditangani atau terlalu sulit untuk di tangani oleh guru maupun orang tua dapat bersumber dari kasus-kasus tungrahita (lemah mental) dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang bermasalah berat ini di pandang tidak berketerampilan. Oleh karena itu, para siswa yang mengalami kedu masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga harus memerlukan perawatan khusus.

c. Menyusun Program Perbaika
Dalam hal penyusunan rogram pengajaran perbaikan, sebelumnya guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut:
Tjuan pengajaran remedial
Meteri pengajaran remedial
Metode pengajaran remidial
Alokasi waktu pengajaran remedial
Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.

d. Melaksanakan Program Perbaikan
Kapan dan dimana program pengajaran remedial yang telah di rancang itu dapat anda laksanakan? Pada prinsipnya, program pengajaran remedial itu lebih cepat dilaksanakan tentu saja lebih baik.
Selanjutnya, untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif kiat pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat di anjurkan mempelajari buku-buku khusus mengenai bi,bingan dan penyuluhan. Selain itu, guru juga dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model mengajar tertentu yang di anggap sesuai sebagai alternative atau pendukung cara memecahkan masalah kesulitan belajar siswa.
BAB II
BELAJAR, TEORI POKOK BELAJAR, PROSES DAN FASE BELAJAR

2.1 Definisi Belajar
Definisi belajar menurut para ahli:
*Kamus besar bahasa Indonesia: “belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”.
* Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
* Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
* Crow & Crow (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
* Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap suatu situasi”
* Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
* Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Dari definisi-definisi di atas, secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa belajar merupakan perubahan prilaku yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psiko-motorik. Yang pastinya melalui sebuah proses, dan bukan hasil yang hendak dicapai semata. Belajar pun melalui serangkaian pengalaman yang menyebabkan suatu modifikasi pada tingkah laku yang telah dimiliki sebelumnya.
Hal-hal yang mencakup perubahan prilaku adalah:
a. Perubahan yang disadari dan disengaja.
b. Perubahan yang berkesinambungan.
c. Perubahan yang funsional.
d. Perubahan yang bersifat positif.
e. Perubahan yang bersifat aktif.
f. Perubahan yang bersifat permanen.
g. Perubahan yang bertujuan juga terarah.
h. Perubahan perilaku secara keseluruhan.

2.2 Arti Penting Belajar
Dalam perkembangan manusia, belajar memiliki peranan penting begitupun dalam kehidupannya. Mengapa demikian? Arti penting belajar bagi perkembangan manusia adalah karena suatu hal yang melatar belakangi kemajuan manusia dibanding makhluk lainnya adalah belajar. Banyak sekali bentuk perkembangan yang dialami oleh manusia yang bergantung pada belajar, misalnya perkembangan kecakapan berbicara, bakat berdiri di atas kedua kaki, dan proses berpikir. Dapat disimpulkan bahwa kualitas hasil proses perkembangan manusia itu banyak pada apa dan bagaimana ia belajar. Selanjutnya tinggi rendahnya kualitas belajar manusia akan menentukan masa depan peradaban manusia.
Adapun arti belajar bagi kehidupan manusia adalah karena belajar memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat diantara bangsa-bangsa lainnya. Dengan persaingan yang tidak sehat, maka akibatnya dapat menimbulkan kenyataan tragis seperti membuat orang lain terpuruk atau bahkan menghancurkan kehidupan seseorang. Meskipun ada sisi negative dalam belajar, namun kita tidak boleh melupakan peranannya sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia.
Karena dalam Al-Qur’an pun, keutamaan orang berilmu telah dijelaskan perbedaanya dengan orang tak berilmu. Seperti diungkapkan dalam Q.S Al-Mujadalah: 11 yang berbunyi:
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”

2.3 Teori-Teori Pokok Belajar
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prisip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: Connectionism, classical conditioning, dan operant conditioning. Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti contiguous conditioning (Guthrie), sign learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.
A. Connectionism
Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan ekperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan itu ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Dari eksperimen tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Dan dapat kita ambil dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar, yaitu:
o Keadaan kucing yang lapar (motivasi). Sama halnya dengan manusia, manusia akan semangat dalam belajar apabila memiliki motivasi yang kuat.
o Tersedianya makanan di muka pintu yang merupakan efek positif karena memuaskan terhadap yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect.
B. Classical conditioning
Teori pembiasaan klasik ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Paplov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia. Pada dasarnya teori ini adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut. Kata klasikal yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Paplov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan). Hal yang membedakan teori ini dengan teori pembiasaan lainnya adalah teorinya respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam eksperimennya Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS/ rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari), unconditioned stimulus (UCS/ rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari), conditioned respons (CR/ respon yang dipelajari), dan unconditioned respons (UCR/ respon yang tidak dipelajari).
C. Operant Conditioning
Teori pembiasaan perilaku respons ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (bukan didasari oleh stimulus). Jadi, suatu tindakan itu ada karena stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak disengaja diadakan sebagai pasangan stimulus. Dalam eksperimennya Skinner menggunakan tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti. Peti tersebut terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni:
• Manipulandum (komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement), terdiri atas tombol, batang jeruji dan pengungkit.
• Alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan.
Eksperimen ini mirip dengan teori Thorndike, yang membedakannya hanya, teori Thorndike selalu melibatkan satisfaction/ kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/ penguatan.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner dan Pavlov di atas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan, yaitu:
o Proses belajar itu dipandang dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
o Proses belajar itu dipandang bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki kemampuan mengatur diri sendiri dan pengendalian diri yang bersifat kognitif untuk menolak hal-hal yang berlawanan dengan hati.
o Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan prilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat amat mencoloknya perbedaan antara karakter fisik dan psikis manusia dengan karakter fisik dan psikis hewan.
D. Contiguous Conditioning
Teori belajar pembiasaan asosiasi dekat adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan. Teori ini sering disebut sebagai teori istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena di dalamnya hanya terdapat satu prinsip. Menurut Edwin R. Guthrie (1886-1959), peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seorang siswa bukanlah hasil dari berbagai respons kompleks terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para behavioris lainnya, melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respons yang diperlukan.
Dalam kenyataan sehari-hari, memang acapkali terjadi peristiwa belajar dengan contiguous conditioning sederhana seperti: mengasosiasikan 2+2 dengan 4; mengasosiasikan kewajiban di bulan ramadhan dengana puasa, dan sebagainya.
E. Cognitive Theory
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya. Namun bukan berarti teori ini anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut mereka bahwa aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi. Meskipun hal-hal yang bersifat behavioral lebih tampak nyata, akan tetapi itu semua tidak akan terlepas dari kognitif seseorang. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak.
Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar psikologi kognitif terkemuka, menyimpulkan: semenjak kelahirannya, setiap anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
F. Social Learning Theory
Teori belajar sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori belajar observasional/ dengan pengamatan itu adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, ia memandang bahwa tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atau stimulus. Melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Yang menjadi prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh prilaku (modeling).

2.4 Tahap-Tahap dalam Proses Belajar
a. Menurut Jerome S. Bruner
Belajar yang menurutnya aktifitas berproses, sudah tentu didalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap dan memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Bruner, dalam proses belajar siswa menempuh tiga episode/ tahap, yaitu:
 Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
 Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
 Tahap evaluasi (tahap penilaian materi)
b. Menurut Arno F. Wittig
Menurutnya, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu:
 Tahap perolehan/ penerimaan informasi
 Tahap penyimpanan informasi
 Tahap mendapatkan kembali informasi
c. Menurut Albert Bandura
Menurutnya, setiap proses belajar terjadi dalam urutan tahapan peristiwa yang meliputi:
 Tahap perhatian
 Tahap penyimpanan dalam ingatan
 Tahap reproduksi
 Tahap motivasi

2.5 Fase-Fase Perkembangan
Fase perkembangan dapat diartikan sebagai penahapan atau pembabakan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola pola tingkah laku tertentu. Mengenai masalah pembabakan atau periodisasi perkembangan ini, para ahli berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan analisis biologis, didaktis dan psikologis.
a) Tahap perkembangan berdasarkan analisis biologis
Sekelompok ahli menentukan pembabakan itu berdasarkan keadaan atau proses pertumbuhan tertentu. Pendapat para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Aristoteles menggambarkan perkembangan individu, sejak anak sampai dewasa itu ke dalam tiga tahapan. Setiap tahapan lamanya tujuh tahun, yaitu:
 Tahap 1 : dari 0,0 sampai 7,0 tahun (masa anak kecil atau masa bermain).
 Tahap 2 : dari 7,0 sampai 14,0 tahun (masa anak, masa sekolah rendah).
 Tahap 3 : dari 14,0 sampai 21,0 tahun (masa remaja/ pubertas, masa peralihan dari usia anak menjadi orang dewasa).
Penahapan ini didasarkan pada gejala dalam perkembangan fisik (jasmani). Hal ini dapat dijelaskan bahwa antara tahap 1 dan tahap 2 dibatasi oleh pergantian tinggi; antara tahap 2 dengan tahap 3 ditandai dengan mulai berfungsinya organ-organ seksual.
2) Kretscmer mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa individu melewati empat tahapan, yaitu:
 Tahap 1 : dari 0,0 sampai kira-kira 3,0 tahun; fullungs (pengisian) periode 1; pada fase ini anak kelihatan pendek gemuk.
 Tahap 2 : dari 3,0 sampai kira-kira 7,0 tahun; streckungs (rentangan) periode 1, pada periode ini anak kelihatan langsing (memanjang/ meninggi).
 Tahap 3 : dari 7,0 sampai kira-kira 13,0 tahun; fullungs (pengisian) periode 2; pada masa ini anak kelihatan pendek gemuk kembali.
 Tahap 4 : dari 13,0 sampai kira-kira 20,0 tahun; streckungs (rentangan) periode 2, pada periode ini anak kembali kelihatan langsing.
3) Elizabeth Hurlock mengemukakan penahapan perkembangan individu, yakni sebagai berikut:
 Tahap 1 : fase prenatal (sebelum lahir), mulai masa konsepsi sampai proses kelahiran, yaitu sekitar 9 bulan atau 280 hari.
 Tahap 2 : infancy (orok), mulai lahir sampai usia 10 atau 14 hari.
 Tahap 3 : babyhood (bayi), mulai dari 2 minggu sampai usia 2 tahun.
 Tahap 4 : childhood (kanak-kanak), mulai 2 tahun sampai masa remaja (puber).
 Tahap 5 : adolescence/ puberity, mulai usia 11 atau 13 tahun sampai usia 21 tahun.
b) Tahap perkembangan berdasarkan didaktis
Dasar didaktis atau instruksional yang dipergunakan oleh para ahli ada beberapa kemungkinan: (1) apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu? (2) bagaimana cara mengajar atau menyajikan pengalaman belajar kepada anak didik pada masa-masa tertentu? (3) kedua hal tersebut dilakukan secara bersamaan. Yang dapat digolongkan ke dalam penahapan berdasarkan didaktis atau instruksional antara lain pendapat dari Comenius dan pendapat Rosseau.
 Comenius. Dipandang dari tiga segi pendidikan, pendidikan yang lengkap bagi seseorang itu berlangsung dalam empat jenjang yaitu: a) sekolah ibu, untuk anak-anak 0,0 sampai 6,0 tahun.
b) sekolah bahasa ibu, untuk anak usia 6,0 sampai 12,0 tahun.
c) sekolah latin (pengembangan), untuk remaja usia 12,0 sampai 18,0 tahun.
d) akademi, untuk pemuda-pemudi usia 18,0 sampai 24,0 tahun.
 Rosseau. Penahapan perkembangan menurut Rosseau adalah sebagai berikut:
o Tahap 1 : 0,0 sampai 2,0 tahun, usia asuhan.
o Tahap 2 : 2,0 sampai 12,0 masa pendidikan jasmani dan latihan panca indra.
o Tahap 3 : 12,0 sampai 15,0 periode pendidikan akal.
o Tahap 4 : 15,0 sampai 20,0 periode pendidikan watak dan pendidikan agama.


BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Perkembangan
Dua hal yang berkembang dalam hal kaitannya dengan perubahan. Yakni pertumbuhan dan perkembangan. Kerap kali kita menganggap bahwa kedua hal tersebut sama dan hampir-hampir kita melupakan pengertian yang esensi dari kedua aspek tersebut. Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari pertumbuhan. Menurut mereka brkembang itu tidak sama dengan tumbuh bgitu pun sebaliknya. Perkembangan ialah perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan jasmaniahnya itu sendiri. Dari pengertian tersebut secara tidak langsung kita telah mengetahui pengertian pertumbuhan. Dan dari itu pula kita dapat mengetahui perbedaan yang bersifat esensi yakni Pengertian kualitatif yang secara lebih khusus menunjuk pada perkembangan, dan istilah kuantitatif yang lebih identik dengan pertumbuhan yakni dengan adanya indikasi perubahan jasmani manusia.
Perkembangan merupakan salah satu ranah yang menjadi titik konsentrasi pembahasan Psikologi yang kemudian berkembang menjadi sebuah cabang Ilmu Psikologi tersendiri yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah Psikologi Perkembangan. Olehb karenanya amatlah penting bagi kita untuk memperhatikan cabang ilmu psikologi tersebut untuk memahami keadaan seorang siswa. Dalam buku Psikologi Perkembangan yang disusun oleh Elizabeth B. Hurlock beliau mengutarakan arti perubahan dalam perkembangan yakni dengan mengutarakan yang dimaksud dengan perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perubahan progresif secara bahasa dapat kita analisa yakni perubahan yang menunjukkan suatu peningkatan dalam sesuatu hal di mana hal tersebut lahir atas respon adanya kematangan dan pengalaman. Kematangan merupakan tingkat perubahan yang terjadi pada diri seseorang, dimana kematangan ini tidak lepas dari adanya stimulus yang dilahirkan apakah itu berasal dari internal diri seseorang tersebut ataupun stimulus yang memang berasal dari luar dirinya. Kemudian pernyataan yang kedua perkembangan merupakan reaksi yang ditimbulkan atas adanya pengalaman. Ini adalah sesuatu yang logis. Sebuah peribahasa asing mengatakan “Experince Is The Best Teacher” yang berarti bahwa guru yang terbaik adalah pengalaman. Inilah yang menjadi sebuah indikasi bahwa melalui pengalaman seorang bisa belajar dan memetik hikmah. Dalam sebuah studi dan pengamatan menyatakan bahwa banyak orang ketika melakukan kesalahan dalam sebuah permasalahan dan kemudian ia menemukan permsalahan yang sama ia akan cenderung lebih sensitif dalam menanggapi permasalahan yang sama dikemudian hari terutama ketika menggaris bawahi permasalaha-permasalahan yang ia temui sebelumnya. Dari hal tersebut seorang calon Guru dapat memetik hikmah bagi dirinya dalam memberikan pengajaran dan bimbingan bagi muridnya. Seorang murid yang menjadi objek pendidikan haruslah mendapatkan perhatian dari sorang gurunya. Sejauh mana seorang guru tersebut memberikan pengarahan dan bimbingan maka sejauh itu pula seorang guru memahami karakter seorang siswa. Artinya bahwa seorang guru itu sendiri harus mampu memahami kondisi kejiwaan seorang murid tersebut.
Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang terjadi dalam diri manusia yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak dalam kehidupan manusia. yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi. Keduanya mulai dari pembuahan dan berakhir dengan kematian. Inilah perhatian yang harus diperhatikan oleh seorang guru yakni sejauh mana seorang murid tersebut mengalami perubahan apakah itu evolusi ataukah seorang murid tersebut mengalami involusi.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perubahan-Perubahan Dalam Perkembangan
Dalam prkembangan manusia selalu dipengerahi oleh faktor-faktor tertentu apakah itu berasaldari faktor internal maupun ekksternal. Dalam buku Psikologi Perkembangan Karya Elizabeth B.Hurlock penyusun mendapati bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Maka tidaklah menjadi sebuah permasalahan ketika kami mengutarakan permasalahan ini dalam Psikologi Pendidikan sebab yang menjadi objek pendidikan itu sendiri adalah seorang murid yakni manusia. Berikut beberapa faktor tersebut :
1. Penampilan Diri dan Perilaku
Seorang manusia akan mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya seorang manusia mengalami fase yang berbeda-beda. Dimulai ketika bayi kemudian menjadi balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan akhirnya tua. Dalam perkembangannya tersebut nilai kuantitatif atau pertumbuhan dari seseorang akan terlihat. Khusus dengan penampilan diri perubahan-perubahan yang meningkatkan penampilan diri seseorang tersebut akan diterima dengan senang hati,dan mengarah kepada sikap yang menyenangkan. Maka sebaliknya perubahan-perubahan yang mengurangi penampilan diri akan ditolak dan segala usaha akan diusahakan untuk menutupinya. Ini berlaku bagi seorang murid. Kasus ini banyak terjadi dalam usia belajar remaja yakni berkisar antara SMP sampai dengan SMA. Dimana pada masa tersebut masa-masa kritis dalam perubahan dari masa kanan-kanak menuju masa remaja. Guru sebaiknya berperan aktif dalam mengawasi perkembangan tersebut. Sebab banyak kasus pada masa ini terjadi penyimpangan perilaku-perilaku dari seorang murid entah itu ketika didasari perubahan fisik maupun tingkat kematangan pemikiran yang memancing rasa keingin tahuan seorang murid tersebut.
2. Stereotip Budaya dan Nilai-niulai Budaya
Dari media massa seseorang dapat dapat mempelajari stereotip budaya yag dikaitkan dengan berbagaiusia.dan stereotip ini dipakai untuk mnilai orang-orang dalam rentanusia tertentu. Selain itu setiap kebudayaan mempunyia nilai-nilai tertentu yang dikaitkan dengan usia-usia yang berbeda.
3. Perubahan Peranan
Sikap terhadap orang dari beragam usia sangat diperngaruhi oleh peran yang mereka mainkan. Seorang murid yang notabenenya adalah seseorang yang dalam masa pencarian, yakni bukan hanya pengetahuan semata namun juga jati diri pula yang dilambangkan oleh pola sikap dan perilaku. Pola sikap dan perilku yang seperti apa hendaknya seorang pendidik tersebut mengetahui akan hal tersebutdan berupaya sebisa mungkin seorang pendidik harus mampu menjadi sauri tauladan bagi muridnya.
4. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkembangan. Seorang guru yang pandai adalah seorang guru yang mampu menciptakan kondisi belajar bagi muridnya. Sebab melalui terbangunnya kondisi belajar yang baik maka peluang terbentuknya sebuah pengalaman yang baik akan memungkinkan untuk dihasilkan.
Pribadi manusia tersebut mudah atau dapat dipengaruhi oleh sesuatu. Melalui9 inilah diperlukan adanya sebuah upaya mendidik pribadi, membentuk pribadi, membentuk watak atau mendidik watak anak. Yang artinya adalah usaha mendidik anak yang nampakkurang baik, sehingga menjadi baik. Misalkan anak yang tadinya malas dapat dirubah menjai rajin, anak yang semula gemar menggoda dirubah untuk tidak melakukan hal tersebut dan lain sebagainya.
Sejak dahulu telah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam yang sudah ada sejak lahir,berwujud benih, bibit, atau serign disebut juga kemampuan-kemampuan dasar. KH.Dewantara menyebutnya faktor dasar, sedangkan faktor dari luar atau faktor lingkungan beliau menyebutnya faktor ajar. Namun dalam hal ini belum disepakati faktor mana yang menjadi faktor yang kuat dalam mempengaruhi pola kepribadian seseorang.
Dalam sejarah Psikologi disebutkan ada dua aliran yang saling bertentangan yaitu kaum Nativisme yang dipelopori oleh Schopenhouer. Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan lebih kuat jika dibandingkan dengan faktor yang berasal dari luar dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Aliran inipun disokong oleh aliran Naturalisme yang dipelopori oleh JJ. Rousseau, yang berpendapat bahwa : Segala yang suci dari Tangan Tuhan, rusak ditangan manusia. Namun dipihak lain pernyataan tersebut ditentang oleh aliran Empirisme yang dipelopori olej John Locke, dengan teori Tabula Rasanya. Ia berpendapat bahwa anak sejak lahir masih bersih seperti tabula rasa,dan baru akan dapat berisi bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat inderanya. Oleh karena itu pengeruh dari luarlah yang lebih kuat dari pada pembawaan manusia. Pendapat ini pun disokong oleh J.F Hebart dengan teori Psikologi Asosiasinya, yang berpendapat bahwa jiwa manusia sejak dilahirkan itu masih kosong. Dan baru akan berisi apabila inderanya telah menangkap sesuatu, yang kemudian diteruskan oileh urat syarafnya, kemudian masuk kedalam kesadaran yaitu jiwa.
Melihat kedua pertentangan tersebut W.Stern mengajukan teorinya yang terkenal dengan teori perpaduan atau teori convergency, yang berpendapat bahwa kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu.keduanya saling memberi pengaruh. Bakat seorang anak yang tertanam dalam jiwanya tidak akan berkembang dengan baik apabila tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai.
Sejauh mana lingkup faktor pembawaan dan faktor lingkungan maka kita dapat memperhatikan bagan sebagai berikut :


2. Hukum Perkembangan

Hukum perkembangan merupakan suatu konsepsi yang biasanya bersifat deduktif dan menunjukkan adanya hubungan yang berlanjut serta dapat diramalkan sebelumnya melalui adanya variabel-variabel yang empirik.

Dalam kajian Psikologi terdapat banyak variabel yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan konsep-konsep yang dapat dikembangkan dan dianalogikan. Berikut Hukum-hukum perkembangan yang berlaku dalam kajian Psikologi :

1. Hukum Tempo Perkembangan.
Bahwa perkembangan jiwa tiap-tiap anak itu berlainan, menurut temponya masing-masing perkembangan anak yang ada. Ada yang cepat (tempo singkat) adapula yang lambat. Suatu saat ditemukan seorang anak yang cepat sekali menguasai ketrampilan berjalan, berbicara,tetapi pada saat yang lain ditemukan seorang anak yang berjalan dan berbicaranya lambat dikuasai. Mereka memiliki tempo sendiri-sendiri. Pada saat inilah kondisi seorang pendidik yang sigap dalam mengamati perkembangan anak didiknya dibutuhkan. Seorang pendidik tidak melakukan tindakan yang bersifat generalisasi dengan mengambil asumsi bahwa setiap muridnya memiliki kemampuan dan kebutuhan yang sama. Namun seorang pendidik harus mampu menempatkan dirinya dengan muridnya sesuai dengan metode yang tepat dalam menunjang kebrhasilan perkembangannya (murid).


2. Hukum Irama Perkembangan.
Hukum ini mengungkapkan bukan lagi cepat atau lambatnya perkembangan anak, akan tetapi tentang irama atau rythme perkembangan. Jadi perkembangan anak tersebut mengalami gelombang “pasang surut”. Mulai lahir hingga dewasa, kadangkala anak tersebut mengalami juga kemunduran dalam suatu bidang tertentu.

Misalnya , akan mudah sekali diperhatikan jika mengamati perkembangan pada anak-anak menjelang remaja. Ada anak yang menampakkan kegoncangan yang hebat, tetapi adapula anak yang melewati masa tersebut dengan tenang tanpa menunjukkan gejala-gejala yang serius.

Inilah tantangan bagi seorang Pendidik. Ia harus tahu bagaimana manusia berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya. Tentunya dengan memperhatikan setiap dampak yang mungkin dihasilkan. Maka sangatlah perlu bagi seorang pendidik mengetahui dan memahami rentang kehidupan yang dialami manusia. Berikut bagan tahapan dalam rentang kehidupan manusia




3. Hukum Konvergensi Perkembangan.
Pandangan pendidikan tradisional di masa lalu berpendapat bahwa hasil pendidikan yang dicapai anak selalu di hubung-hubungkan dengan status pendidikan orang tuanya. Menurut kenyataan yang ada sekarang ternyata bahwa pendapat lama itu tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pandangan lama ini dikuasai oleh aliran nativisme yang dipelopori Schopen Hauer yang berpendapat bahwa manusia adalah hasil bentukan dari pembawaan.

4. Hukum Kesatuan Organ.
Tiap-tiap anak itu terdiri dari organ-organ tubuh , yang merupakan satu kesatuan diantara organ-organ tersebut antara fungsi dan bentuknya, tidak dapat dipisahkan berdiri integral. Contoh : perkembangan kaki yang semakin besar dan panjang , mesti diiringi oleh perkembangan otak, kepala, tangan dan lain-lainnya.

5. Hukum Hierachi Perkembangan.
Bahwa perkembangan anak itu tidak mungkin akan mencapai suatu phase tertentu dengan spontan, akan tetapi harus melalui tingkat-tingkat atau tahapan tertentu yang tersusun sedemikian rupa sehingga perkembangan diri seorang menyerupai derajat perkembangan. Contoh : perkembangannya pikiran anak, mesti didahului dengan perkembangan pengenalan dan pengamatan.

6. Hukum Masa Peka.
Masa peka ialah suatu masa yang paling tepat untuk berkembang suatu fungsi kejiwaan atau fisik seseorang naka. Sebab perkembangan suatu fungsi tersebut tidak berjalan secara serempak antara satu dengan lainnya. Contoh : masa peka untuk berjalan bagi seorang anak itu pada awal tahun kedua dan untuk berbicara sekitar tahun pertama.

Istilah peka pertama kali ditampilkan oleh seorang ahli biologi dari Belanda bernama Hugo de Vries (1848-1935), kemudian istilah tersebut dibawa kedalam dunia pendidikan, khususnya psikologi oleh Maria Montessori (Italia 1870-1952).

7. Hukum Mengembangkan Diri.
Dorongan yang pertama adalah dorongan mempertahankan diri, kemudian disusul dengan dorongan mengembangkan diri. Dorongan mempertahankan diri terwujud misalnya dorongan makan dan menjaga keselamatan diri sendiri. Contoh : Anak menyatakan perasaan lapar, haus , sakit dalam bentuk menangis maka tangisan itu dianggap sebagai dorongan mempertahankan diri. Seorang anak yang ingin menjadi juara, pandai dan sukses.



8. Hukum Rekapitulasi.
Perkembangan jiwa anak adalah ulangan kembali secara singkat dari perkembangan manusia di dunia dari masa berburu hingga masa industri. Teori ini berlangsung dengan lambat secara berabad-abad. Jika pengertian rekapitulasi ini ditransfer ke psikologi perkembangan, dapat dikatakan bahwa perkembangan jiwa anak mengalami ulangan ringkas dari sejarah kehidupan umat manusia.


Perkembangan Psiko-Fisik Siswa

Perkembangan psiko-fisik adalah perkembangan yang menyangkut perubahan yang terjadi dalam aspek kejiwaan dan jasmani seorang siswa. Dalam pemabahasan sebelumnya telah diutarakan mengenai perkembangan. Bahwa perkembangan merupakan perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi-fungsi organ jasmaniah bukan organ jasmaniahnya itu sendiri.

Di dalam buku Psikologi Belajar yang disusun oleh Muhibbin Syah, M.Ed. mengulas mengenai proses-proses perkembangan yang dipandang memiliki keterkaitan dengan belajar siswa. Proses perkembangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Perkembangan Motor (Fisik)
Istilah motor dalamkajian Psikologi digunakan sebagai istilah yang menunjuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakannya, juga kelenjar-kelenjar dan sekresinya (pengeluaran cairan/getah). Secara singkat motor dapat dipahami pula sebagai keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan stimulasi/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik.
Perkembangan motor pada seorang anak terjadi pada rentang usia antara 12/13 tahun hingga 21/22 tahun. Inilah saatnya dimana pertumbuhan menunjukan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-bagiannya menjadi matang, dimana sebelumnya tahap perkembangan belum menghadapi tingkat kesempurnaan.
Menurut Gleitman (1987) bahwa manusia ketika ilahirkan ke dunia membawa dua bekal yakni kapasitas motor dan kapasitas pancaindera (sensori). Pada awalnya seorang anak hanya memiliki kendali yang sedikit sekali terhadap fungsi jasmaninya. Namun hal tersebut berangsur-angsur oleh peran jasmaninya kian berkembang. Kapasitas motorik sendiri lebih cenderung pada perkembangan jasmani seorang anak. Contohnya ketika seorang anak menginjak umur 4 tahun secara reflek ia telah mampu memegang benda-benda yang ada disekitarnya. Dalam hal ini peristiwa tersebut disebut dengan grasp reflek yakni reflek kemampuan untuk memegang. Inilah kemampuan primitif dari seorang anak dalam arti bahwa hal tersebut tidaklah diajarkan sebelumnya. Kemudian bekal Psikologi yang kediua ialah kapasitas sensori.kapasitas sensori seorang bayi lazimnya mulai berlaku sama-sama dengan berlakunya refleki-refleksi motor. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengeturan nafas,dan tanda-tanda stimulus lainnya.
Dasar-dasar psikologi yang dimiliki manusia tersebut adalah dasar yang menjadi titik tolak perkembangan seorang manusia selanjutnya. Di sinilah peran sebuah sekolah melalui guru-gurunya untuk mampu mengarahkan seorang anak untuk mengembangkan segala potensi yang dimilkinya. Salah satu hal yang menjadi obyek perhatian seorang guru terhadap muridnya adalah berkaitan dengan motor skills atau keterampilan jasmani seorang anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan beragam aktifitas dan latihan dalam meningkatkan kinerjanya. Dalam perkembangan motor skills setidaknya seorang guru harus mengetahui bahwa perkembangan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek yang menunjang perkembangannya. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut :
1. Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf
2. Pertumbuhan otot-otot
3. Perkembangan dan pertumbuhan kelenjar endokrin
4. Perubahan struktur jasmani

2. Perkembangan Kognitif
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing yang berarti mengetahui. Dalam arti yang luas Cognitive (kognisi) ialah perolehan, penataan,dan penggunaan pengetahuan (Neisser 1976). Dan dalam tahap selanjutnya istilah kognitif ini berkembang menjadi salah satu ranah yang menjadi kajian dalam bidang psikologi yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informai, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.
Sebagian besar para psikolog terutama kognitivis berkayinan bahwa perkembangan kognitif seorang bayi dimulai sejal ia lahir. Yakni diawali dengan adanya bekal fungsi motor dan sensori tersebut yang kemudian pada tahap bayi umur bayi lima bulan kedua fungsi bawaan tersebut mulai dipengaruhi oleh kendali kognitif. Tapi dikatakan pula bahwa pendayagunaan rabah konitif ini dimulai ketika seseorang mulai mendayagunakan fungsi motor dan sensorinya tersebut. Namun yang menjadi perbedaannya adalah cara dan intensitas pendayagunaan ranah kognitif tersebut belum jelas dan benar. Para psikolog sampai saat ini belum ada yang sepakat pada umur berapakah seorang manusia mulai mengaktifkan peran kognitifnya. Namun mereka sepakat bahwa hal tersebut selama rentang waktu antara 0-2 tahun.
Kemudian seorang pakar psikologi terkemuka yakni Jean Pigget mengemukakan bahwa tahap perkembangan psikologi anak terjadi dalam empat tahap. Berikut ini Penjelasannya :
1. Sensory-Motor (0-2 tahun)
Selama dalam perkembangan sensori motor yang berlangsung sejak usia 0- tahun, intelkegensi yang dimiliki seeorang anak tersebut masih berbentuk primitf dalam arti masih didasarkan pada perilku terbuka. Namun hal tersebut merupakan dasar yang sangat penting karena ia akan menjadi fondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian rupa dengan mengarahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai equilibrium yang memuaskan kebutuhannya. Hal tersebut dapat dilakukan oleh seorang bayi manakala ia merasa lapar dan haus. Pada awalnya seorang bayi belum bisa menilai kebradaan sebuah benda atau dalam isytilah psikologi dikenal dengan istilah Object Permanen. Namun pada usia rentang 18 hingga 24 bulan seorang bayi barulah mengenal object permanen.

2. Preoperational (2-7 tahun)
Periode perkembangan kognitif praioperational terjadi dalam diri seorang anak yakni dalam renrang usia 2-7 tahun). Pada tahap ini eorang anak sudah mulai mengenal object permanen. Dalam periode perkembangan praoperational disamping diperolehnya kapasitas object permanen pada tahap ini pula seorang anak memperoleh kemampuan berbahasa awalnya. Yakni seorang anak mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Kemampuan-kemampuan skma kognitif anak dalam rentangusia 2-7 tahun memang masih sangatlah terbatas. Namun demikian secara kulitatif fenomena perilaku ranah cipta seperti yang dipaparkan sebelumnya sangat berbeda dengan tingkat kemamapuan pada tahap sensori motor seorang bayi.

3. Concrete Operational (7-11 tahun)
Berakhirnya tahap praoperational bukan berarti berhenti pola pikir yang brsifat intuitif pada seorang bayi.yakni pola berfikir dengan mengandalkan ilham. Dalam periode konkret operasional seorang anak yang berlangsung hingga usia remaja, anak memperoleh kemampuan tambahan yang disebut dengan system Operations (satuan langkah berpikir) kemampuan ini berfaedah bagi seorang anak untuk menkoordinasikan pmikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikiran sendiri.
Dalam intlegensi operasional anak yang berada pada tahap konkret operasional terdapat sistem operasi kognitif yang meliputi :
a. Conversation, adalah kemampuan dalam memahami aspek-aspek kumulatif matri seperti volume dan jumlah.
b. Addition of Classes, adalah kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan benda-benda yang memiliki kelas-kelas tertentu.
c. Multiplication Classes, adalah kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda untuk membentukgolongan benda.

4. Formal Operational (11-15 tahun)
Dalam tahapan ini anak yang sudah menjelang usia remaja akni usia 11-15 tahun akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran koinkret operational seperti yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya. Dalam tahap ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinaikan baiksecara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yakni kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

3. Perkembangan Sosial dan Moral
Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya penumbuhkembngan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal yang brlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi dalam hal ini pendidikan masyarakat dan keluarga.
Peran pendidikan baik di sekolah maupun dirumah adalah turut membantu perkembangan psikososial seorang siswa.
Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Oleh karenanya amatlah sangat berperan penting kualitas belajar dalam membentuk eorang siswa tersebut.


Daftar Pustaka

Abin, S.M (1975) psikologi kependidikan. Bandung
Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 1997)
http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008)
Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996)

Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, ROSDA, Bandung, 2009 (cetakan ke-3).
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ROSDA, Bandung, 2008 (cetekan ke-9)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar